Suhartono pernah melakoni berbagai pekerjaan, sebelum kemudian ia bersama istrinya, Ermawati, memantapkan diri menjadi pembuat tas kantong. Produk kerajinan ini dibuat dari bahan karung bekas pembungkus amonium nitrat. Di pabrik, karung itu sebelumnya digunakan untuk membungkus amonium nitrat yang berbobot lebih dari 1 ton. Bisa dibayangkan, bagaimana ketangguhan tas kantong ini.
Pak Gendut, begitu Suhartono kerap dipanggil oleh warga di kampungnya, di kawasan Guntung, Kota Bontang. Posturnya sebenarnya tidak terlalu gemuk. Seiring geliat usahanya yang menanjak, nama panggilan yang melekat padanya itu dianggap membawa hoki.
Di rumah merangkap bengkel kerjanya, beberapa waktu lalu, Suhartono menunjukkan beberapa produk tas yang ia buat. Meskipun dibuat dari bekas pembungkus amonium nitrat, bahan itu relatif aman untuk digunakan. Amonium nitrat dikenal sebagai bahan baku peledak. Namun, pembungkus yang diolah lagi menjadi tas ini adalah kantong luar (outer bag), bukan kantong dalam dari bahan peledak tersebut. Kantong luar ini tidak bersentuhan langsung dengan amonium nitrat.
Bagaimana kantong bekas ”spesial” ini bisa diolah menjadi tas? Bermula dari komitmen Suhartono bersama istrinya mengelola Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Anggrek. Sejak 2012, KSM ini menjadi usaha binaan PT Kaltim Nitrate Indonesia (PT KNI) Bontang. Suhartono mendapatkan pasokan bekas pembungkus luar ini dari produsen bahan baku peledak tersebut.
Karung pembungkus itu sebenarnya berbahan polypropylene. Polypropylene ini berkarakter keras, tetapi fleksibel. Bahan polypropylene, antara lain, juga kerap digunakan sebagai bahan maneken, kursi, hingga peralatan laboratorium.
Dalam sehari, Suhartono dan Ermawati sedikitnya memproduksi 70 tas kantong. Pasangan ini dibantu enam karyawan.
Di Bontang, tas kantong produksi KSM Anggrek ini cukup dikenal. Banyak instansi, kantor, perusahaan, organisasi, dan sekolah menjadi pelanggannya. Tas ini digunakan untuk mewadahi aneka barang, dari pakaian hingga makalah seminar. Ukuran dan bentuk kantong pun disesuaikan dengan pesanan.
Garansi
Suhartono memberi garansi bahwa jahitan tas kantong buatannya kuat dan tahan lama. Satu tas kantong ia jual Rp 15.000-Rp 20.000. Kini, pelanggannya tidak hanya dari Bontang, tetapi juga datang dari sejumlah kota, seperti Jakarta dan Surabaya. Omzet per minggu usaha ini pun mencapai jutaan rupiah.
Produk tas kantong ini juga kerap jadi oleh-oleh bagi warga yang datang berwisata ke Bontang. Suhartono pun tengah mempertimbangkan tawaran sebuah perusahaan e-dagang. Peluang untuk memperluas pasar terbuka, tetapi ia menyadari adanya keterbatasan tenaga.
Sebelum memulai usaha sendiri, pada 1992-2000, Suhartono sempat bekerja di sebuah perusahaan plastik di Bontang. Ia mengepalai bagian produksi. Ermawati yang dinikahinya pada 1995, ketika itu menjadi salah satu anak buahnya.
Berikutnya, Suhartono bekerja serabutan. Tahun 2003, ia mencoba membuat tas kantong ukuran besar berbentuk pelana. Kantong ini memang ditujukan khusus untuk membawa barang dan diletakkan di boncengan belakang motor. ”Bahan tas kantong masih dari melamin,” kata Suhartono.
Ia terinspirasi setelah melihat-lihat kantong sejenis yang dijual di beberapa kota, seperti Kediri dan Bali. Namun, tas itu tidak cukup kuat menahan muatan berat sehingga agak mudah sobek. Pada 2007, ia sempat banting setir ke Samarinda berdagang besi tua, kayu, dan beberapa produk lain, sembari terus
menekuni pembuatan tas kantong. Hingga kemudian, dia menemui pengelola PT KNI. Daripada limbah pembungkus luar yang berlimpah dibuang percuma, tentu lebih baik disulap menjadi tas kantong.
Lelaki tamatan STM Pradana, Banyuwangi, Jawa Timur, ini mensyukuri kondisinya kini. Salah satu harapannya, yakni membiayai anaknya kuliah di perguruan tinggi, sudah tercapai. Hasratnya membuka lapangan pekerjaan pun terwujud.
Namun, ia masih menyimpan keinginan untuk menjadikan kampung tempat tinggalnya jadi ”kampung tas”. Ia bersemangat untuk menggandeng lebih banyak warga menggarap usaha itu.