JAKARTA, KOMPAS — Standardisasi transaksi repurchase agreement atau repo penting dilakukan untuk memberi kepastian hukum bagi para pelaku pasar keuangan. Acuan dan pedoman bertransaksi repo ini dapat memperdalam pasar keuangan serta berdampak pada peningkatan sektor riil.
Transaksi repo adalah transaksi jual efek atau surat berharga dengan kesepakatan pembelian kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan Bank Indonesia.
Perhimpunan Pedagang Surat Utang (Himdasun) menerbitkan aturan standar pasar untuk transaksi repo atas efek bersifat utang tersebut di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (12/1). Aturan ini bertujuan memberikan acuan dan pedoman dalam bertransaksi repo.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) total transaksi repo selama 2017 naik sebesar 15,97 persen atau Rp 42,04 triliun, dari Rp 263,17 triliun pada 2016 menjadi Rp 305,21 triliun pada 2017. Sementara itu, nilai transaksi rata-rata harian repo untuk periode yang sama juga meningkat dari Rp 1,10 triliun per hari pada 2016 menjadi Rp 1,28 triliun per hari pada 2017.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen berharap adanya standardisasi akan berujung pada pendalaman pasar keuangan dan peningkatan profesionalisme pelaku pasar. Kedalaman pasar repo dipastikan akan berdampak juga pada peningkatan sektor riil.
”Mengintegrasikan pasar obligasi dengan pasar repo di Indonesia akan mendorong pengembangan alternatif sumber pembiayaan dan mengurangi ketergantungan pada pinjaman bank,” katanya.
Transaksi repo telah menjadi salah satu instrumen transaksi pasar uang yang banyak digunakan perusahaan, industri keuangan, dan pelaku pasar lainnya untuk mengelola likuiditas. Hoesen menilai, transaksi repo telah menjadi instrumen penting dalam pelaksanaan kebijakan moneter oleh otoritas keuangan dan bank sentral di sejumlah negara.
”Standardisasi yang jelas juga bisa memberikan pemahaman yang sama antarpelaku pasar atas transaksi repo sehingga dapat meningkatkan integritas dan kepercayaan antarpelaku pasar, serta mengurangi risiko sistemik di sektor jasa keuangan,” kata Hoesen.
Ketua Himdasun Farida Thamrin mengatakan, pedoman ini telah digagas sejak 2011. Penyusunan standardisasi semakin gencar dilakukan setelah terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 9 tentang Pedoman Transaksi Repo bagi Lembaga Jasa Keuangan, serta Surat Edaran OJK Nomor 33 tentang penggunaan dokumen Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia.
Himdasun menyusun standardisasi repo surat utang bersama OJK dan Bank Pembangunan Asia sejak awal 2017. Standardisasi, lanjut Farida, dibutuhkan agar iklim investasi dalam negeri makin kondusif seusai peningkatan peringkat oleh Standard & Poor’s dan Fitch Rating serta turunnya persepsi risiko atas investasi di pasar obligasi. (DIM)