Industri Pesta Nikah dalam Tren Milenial
Konsep pesta pernikahan yang simpel, cuek, tetapi tetap eksis kian digandrungi oleh generasi milenial. Resepsi pernikahan yang minimalis dengan jumlah tamu undangan terbatas dikemas dengan elegan agar tampil seru, memberikan kesan lebih intim, dan hemat biaya.
Konsep praktis juga dipilih pasangan milenial dengan tujuan lebih hemat biaya. Pemilihan tempat unik akan memangkas biaya dekor karena tidak perlu tata panggung dan pelaminan, tetapi cukup memasang bunga dan lampu-lampu. Calon pengantin kadang kala mencari sendiri penyedia jasa atau vendor dekor, makanan, musik, hingga fotografi/videografi. Tidak ada kewajiban untuk menggunakan vendor dari rekanan pengelola venue, seperti halnya di hotel.
Namun, ujar Rena, konsep yang praktis tidak selamanya identik dengan biaya murah. Kerap terjadi, meski biaya pesta bisa ditekan, pasangan milenial justru menghabiskan banyak biaya untuk foto-foto prewedding yang mengambil lokasi di kota-kota cantik dunia, seperti Paris, Dubai, dan Korea Selatan.
Namun, tak semua pernikahan generasi milenial bisa dilaksanakan dengan serba minimalis. Ketika orangtua lebih banyak andil dalam biaya dan konsep pernikahan, pesta minimalis lebih sulit diterapkan karena biasanya menghadirkan banyak tamu dari pihak orangtua.
Perkembangan industri pesta pernikahan juga mendorong perubahan jasa yang ditawarkan oleh hotel. Salah satu hotel bintang lima di kawasan Thamrin, Jakarta, misalnya, membuat konsep vila di salah satu lantai hotel tersebut. Adapun hotel yang memiliki area di pinggiran pantai juga menyediakan chapel yang sangat berbeda dengan nuansa ballroom. Dengan konsep itu, sudah tidak ada lagi pelaminan bagi pengantin. Pengantin akan berbaur dengan tamu undangan sehingga membuat suasana pesta terkesan lebih akrab dan privat.
Pernak-pernik
Perkembangan konsep pesta pernikahan juga mendorong industri ikutannya. CEO BrideStory Kevin Mintaraga mengatakan, bisnis pernak-pernik kebutuhan pernikahan di Indonesia sangat potensial. Beberapa tahun terakhir, bisnis ini berkembang pesat tidak hanya di Jakarta, tetapi juga kota-kota besar lain.
BrideStory yang merupakan laman pemasaran kebutuhan pernikahan itu, kini memiliki lebih dari 18.000 vendor pernikahan. Vendor tersebut tersebar, antara lain, di Jakarta, Surabaya, dan Bali, bahkan di Singapura, Filipina, Malaysia, dan Amerika Serikat.
Sebetulnya, ada banyak vendor kebutuhan pernikahan, tetapi publik tidak tahu informasi keberadaan mereka. Belum terlalu banyak platform yang memberikan data lengkap vendor. Calon pengantin bergantung pada informasi dari kerabat atau teman yang sudah menikah.
Namun, hal itu kini berubah. Kehadiran media sosial, seperti Instagram, memudahkan calon pengantin mencari informasi mengenai vendor.
”Dampak Instagram bagi industri pesta pernikahan cukup besar karena Instagram memfasilitasi konten gambar dan video. Ini adalah platform media sosial yang sangat cocok dengan industri pesta pernikahan,” ujar Kevin.
Untuk urusan foto prewedding, misalnya, banyak calon pengantin mengambil inspirasi dari media sosial. Beberapa waktu lalu, artis Marcel Chandrawinata memilih Nusa Tenggara Timur untuk lokasi pemotretan foto prewedding. Konsep seperti ini kemudian diikuti beberapa calon pengantin lain.
Dikutip dari blog BrideStory, calon pengantin Livita dan Yoseph dikisahkan merupakan penggemar berat scuba diving. Keduanya sering bepergian bersama ke pulau-pulau yang memiliki pasir putih dan air laut jernih. Pasangan ini memilih Sumba, Nusa Tenggara Timur, sebagai destinasi untuk pemotretan foto prewedding mereka.
Di Semarang, Jawa Tengah, industri pernak-pernik pernikahan tengah berkembang. Jasa layanan foto prewedding, upacara, dan pesta pernikahan bermunculan.
Founder jasa layanan foto Lab Story, Abdul Hakim Nurmaulana, berpandangan, rata-rata tema atau konsep pemotretan pernikahan di Semarang belum mampu menciptakan tren sendiri. Sebaliknya, pasangan memilih mengadopsi tema orang lain yang populer di media sosial atau pernikahan di Jakarta.
Di Semarang, dia menyebut, rata-rata calon pasangan masih menyukai tema rustic atau segala sesuatu yang berhubungan dengan perdesaan, hal tidak formal, dan sederhana. Tema ini memiliki ciri khas, antara lain banyak menggunakan kayu yang terlihat tua dan kasar, barang bekas, serta warna pucat.
”Dengan tema itu, mereka memilih lokasi luar ruangan, seperti kebun dan perkemahan, untuk pemotretan foto prewedding,” kata Abdul.
Sejak beroperasi 3,5 tahun lalu, dia menceritakan, tema foto pernikahan di studio tetap masih diminati. Ada pula tema kisah perjalanan yang turut populer.
(BM Lukita Grahadyarini/ MEDIANA)