SENTANI, KOMPAS — Setelah berhasil mendapatkan pengakuan kategori 1 dari Federal Aviation Administrasi (FAA) Amerika Serikat dan nilai 81,15 persen dari Badan Penerbangan Sipil Dunia (ICAO), Indonesia mengejar pengakuan dari Uni Eropa. Pengakuan ini diperlukan agar tidak ada penerbangan dari Indonesia dilarang masuk ke Eropa.
”Pengakuan ini penting karena mereka melarang (ban) atas nama negara, bukan maskapai. Walaupun sudah ada beberapa maskapai diperbolehkan terbang ke Eropa, tetapi karena yang dilarang atas nama negara, tidak mudah bagi maskapai Indonesia untuk terbang ke Eropa. Mereka harus menjalani audit yang berat,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Agus Santoso di Sentani, Papua, akhir pekan lalu.
Ditjen Perhubungan Udara mengumpulkan 5 maskapai penerbangan AOC 121 (berjadwal), 20 maskapai AOC 135 (tidak berjadwal), dan 6 maskapai OC 91 (misi sosial) yang beroperasi di Papua. Mereka diajak bersama-sama berupaya meningkatkan keselamatan penerbangan. ”Penerbangan di Papua menjadi salah satu kelemahan Indonesia dan terus disorot oleh aviasi dunia,” kata Agus.
Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub Muzzafar Ismail menyatakan, Uni Eropa akan menilai pada 12-21 Maret 2018. Uni Eropa, menurut rencana, akan melakukan penilaian penerbangan di Papua serta beberapa maskapai penerbangan, yaitu Sriwijaya Air, Lion Air, Batik Air, Wings Air, Indonesia AirAsia X, dan Spirit Aviation Sentosa (SAS).
”Hasil penilaian diharapkan positif sehingga larangan terbang bisa dibuka lagi,” ujar Muzzafar.
Direktur Utama Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (AirNavigasi) Indonesia Novie Riyanto mengatakan, pihaknya terus meningkatkan layanan dengan membuat pemanduan lalu lintas penerbangan melalui instrumen prosedur dan teknologi mutakhir. Ini dilakukan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi penerbangan.
Maintenance Manager Associated Mission Aviation (AMA) Norbertus Tunyanan mengatakan, infrastruktur dan pilot andal masih kurang di Papua. ”Pelatihan untuk pilot baru sangat diperlukan mengingat medan di Papua yang sangat sulit. Namun, kami kekurangan instruktur pilot yang berpengalaman,” kata Norbertus. (ARN)