Senin, 4 Desember 2017, Kompas menerbitkan laporan utama berjudul ”Waspadai Gejolak Beras” yang menggulirkan persoalan ini hingga beberapa pekan kemudian. Kemelut soal ketersediaan pasokan beras yang coba digambarkan dalam sejumlah laporan itu merupakan klimaks dari rangkaian dinamika sektor pertanian tanaman pangan, khususnya padi, sepanjang 2017.
Intinya, ada gangguan serius terhadap produksi padi nasional. Serangan hama dan penyakit utama tanaman padi pada 2017 terbilang parah. Akumulasi faktor kemarau, penanaman tanpa jeda selama beberapa musim, serta ketidaktepatan jenis dan dosis pestisida memicu ledakan populasi wereng. Kehadiran virus kerdil hampa juga melengkapi derita petani. Tak sulit melacak laporan tentang situasi ini.
Saking parahnya, Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) menganggap serangan wereng dan penyakit kerdil hampa tahun 2017 sebagai salah satu yang terparah setelah tahun 1974/1975, 1986, 1998, dan 2010/2011. Oleh karena itu, sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah akan ancaman penurunan produksi padi pada 2017.
Keresahan serupa disampaikan perwakilan petani, kelompok tani, serta asosiasi petani dalam rangkaian Rembuk Nasional yang puncaknya digelar di Jakarta, Oktober 2017. Keluhan, kritik, dan saran disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI melalui panitia rembuk yang melibatkan pengamat, pelaku usaha, serta akademisi dari 16 perguruan tinggi negeri di 14 provinsi di Indonesia.
Gejala-gejala yang ada sebenarnya berkait. Kegagalan panen, terutama pada musim tanam kedua atau gadu 2017, berdampak pada seretnya pasokan gabah atau beras. Akibatnya, harga terdongkrak naik. Situasi ini menyulitkan Perum Bulog mengejar target pengadaan 3,74 juta ton beras tahun lalu, dengan kerangka pembelian pemerintah. Karena harga tinggi, realisasi pengadaan hanya mencapai 2,16 juta ton atau sekitar 58 persen.
Penggilingan padi juga kesulitan memperoleh bahan baku. Saat menelusuri sentra-sentra penghasil padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, akhir November 2017, Kompas mendapati tidak sedikit penggilingan padi mati suri. Pengelolanya tak punya stok gabah lagi. Mereka terpaksa meliburkan karyawan dan menutup usaha untuk sementara.
Akan tetapi, sederet gejala ditangani dengan ”obat” yang oleh sejumlah pengamat dianggap tidak tepat. Penggeledahan gudang beras milik koperasi, pedagang, penggilingan, dan pengusaha perberasan di banyak lokasi pada Juli-Agustus 2017, penerapan harga eceran tertinggi (HET) beras mulai September 2017. serta pengetatan penyerapan gabah petani dengan melibatkan aparat, terbukti tidak mendongkrak stok beras. ”Obat itu pun tidak mampu meredam kenaikan harga beras.
Kementerian Pertanian berkukuh bahwa produksi padi baik-baik saja. Serangan wereng coklat dan hama kerdil rumput diklaim dapat ditangani dengan baik. Dampak serangan dinilai sangat minim jika dibandingkan realisasi tanam yang mencapai jutaan hektar. Intinya, semua hambatan diklaim serba terkendali. Bahkan, produksi padi 2017 berdasarkan angka ramalan II disebut mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling (GKG). Itu setara 50 juta ton beras. Dengan asumsi kebutuhan konsumsi 33 juta ton setahun, tahun lalu semestinya terdapat surplus 17 juta ton. Namun, di mana berasnya?
Alih-alih turun, harga beras justru naik, seperti perkiraan banyak kalangan, beberapa bulan sebelumnya. Apa betul masih ada mafia bermain setelah serangkaian penggeledahan dan pengawasan masif di sawah, pengepul, penggilingan, sampai gudang pedagang? Apa untungnya menimbun beras dalam jumlah besar jika harga jual dipatok HET sepanjang musim?
Akhirnya, setelah berulang mengklaim produksi cukup dan stok aman, pemerintah memutuskan impor 500.000 ton beras. Keputusan yang semestinya tak perlu jika sederet gejala ditangani dengan cepat dan tepat. Ibarat dokter, pemerintah perlu cermat memeriksa gejala, bukan malah mengingkarinya. Berpura-pura sehat dalam kondisi sakit tidak membuat situasi semakin baik, justru sebaliknya. (MUKHAMAD KURNIAWAN)