Awal tahun ini, pemerintah terpaksa mengimpor beras. Jumlahnya sekitar 500.000 ton. Beras ini diharapkan masuk pada akhir Januari ini. Setiap kali pemerintah mengimpor beras, selalu terjadi keributan. Mengapa? Ada dua penyebab, pemerintah tidak memberi sinyal yang jelas tentang perberasan dan sejarah impor beras yang jarang bersih.
Hingga Desember tahun lalu, pejabat Kementerian Pertanian masih percaya diri bahwa Indonesia tak perlu impor beras alias swasembada. Pernyataan ini membingungkan beberapa kalangan karena tanda-tanda kenaikan harga beras sudah muncul. Waktu penanaman padi yang mundur dan perubahan cuaca menjadi tanda awal. Kemudian, harga beras medium 1 berdasarkan pemantauan di Pasar Induk Beras Cipinang naik dari Rp 11.250 menjadi Rp 11.500 per kg. Kenaikan harga muncul karena pasokan di pasar berkurang. Otomatis mereka yang paham soal beras tak yakin dengan swasembada yang sering didengungkan.
Saat itu, para pejabat sebenarnya harus realistis melihat kenyataan itu dan tak perlu mendengungkan swasembada. Apabila memang penyebabnya adalah spekulan, mereka bisa mempergunakan perangkat hukum untuk menindak. Akan tetapi, langkah penindakan yang dasarnya lemah hanya akan menimbulkan keributan dan kontraproduktif. Senjata paling manjur adalah stok beras yang memadai sehingga spekulan mati kutu.
Apabila saat itu pemerintah realistis memberi sinyal akan menangani harga beras (bukan malah tetap percaya diri dengan swasembada), mungkin harga beras mulai bisa dikendalikan. Jika pemerintah saat itu juga merencanakan impor, pasar beras akan relatif tenang. Sinyal pemerintah akan mengimpor beras harus diakui kadang menjadi bahan perundungan politik karena selama ini pejabat pemerintah terlalu percaya diri tidak mengimpor.
Perundungan juga terjadi karena dalam sejarah impor beras selalu banyak pelaku aji mumpung yang mengambil kesempatan melalui impor. Impor beras selalu jadi isu sensitif, apalagi memasuki tahun politik. Publik telah mengetahui berbagai modus aji mumpung impor beras, seperti pemalsuan harga yang dilaporkan ke Bea Cukai, pemalsuan jumlah beras, dan pemalsuan jumlah kapal. Kasus pemalsuan jumlah kapal beberapa kali pernah terjadi. Misalnya, jumlah kapal yang dipesan sebanyak 5, tetapi yang berangkat dari pelabuhan asal 7 kapal.
Untuk itulah, saatnya pemerintah membuka lebar rencana impor ini hingga publik yakin impor beras itu bersih. Publik bisa diyakinkan dengan alasan impor yang benar, volume impor, pelaku impor, jika perlu dibuka pula informasi mengenai jadwal kapal dan nama kapal. Dengan keadaan saat ini, pemerintah sebenarnya punya alasan yang kuat untuk mengimpor beras. Apabila memang tidak ada yang bermain dalam impor beras, pemerintah seharusnya tak perlu takut mengimpor.
Sayang sekali kebijakan impor itu baru diambil pekan lalu, boleh dibilang agak terlambat. Di samping itu, permasalahan sempat muncul karena impor diserahkan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero). Padahal, seharusnya Perum Bulog yang bertugas mengurus cadangan beras nasional karena beras itu akan digunakan untuk cadangan nasional. Setelah melalui kontroversi, akhirnya kemarin penugasan ke PPI dialihkan ke Perum Bulog. Jika dipaksakan ke PPI, publik akan mempertanyakan sejauh mana kemampuan PPI mengimpor beras. Bagaimana kapasitas gudang PPI? Sejauh mana PPI bisa membuka surat kredit (LC) untuk mengimpor beras?
Di masa mendatang, cara efektif mengendalikan harga adalah pembenahan stok beras. Di lapangan, perusahaan beras swasta lebih memiliki daya tawar dibandingkan Perum Bulog sehingga mereka memiliki stok beras memadai. Keadaan ini sangat mungkin mudah mengguncang pasar karena swasta bisa menguasai hingga di atas 400.000 ton saat Perum Bulog memiliki stok sekitar 1 juta ton. Jika kembali harus mengimpor, pemerintah harus membuka sejak rencana hingga pelaksanaan impor beras. Intinya pemerintah harus membersihkan ”petualang-petualang” dalam impor beras. (ANDREAS MARYOTO)