JAKARTA, KOMPAS — Dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta, Selasa (16/1), Komisi IV DPR meminta agar polemik cantrang segera diakhiri dengan solusi tegas. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PAN, Viva Yoga Mauladi, yang memimpin rapat.
Di sisi lain, pemerintah perlu menjamin hak hidup dan hak bekerja nelayan. Saat ini, sebagian nelayan alat cantrang dan sejenisnya sudah beralih ke alat tangkap lain. Bagi yang belum beralih, pemerintah perlu melakukan uji petik terhadap penggunaan cantrang dalam rangka memberikan ketegasan dan kejelasan ilmiah, apakah cantrang merusak lingkungan atau tidak.
Viva meminta pemerintah berkoordinasi dengan pemangku kepentingan untuk melakukan uji petik cantrang oleh tim independen. Dengan begitu, polemik cantrang tidak berlarut-larut. Apalagi, pelarangan cantrang telah ditunda selama dua tahun.
Direktur Jenderal Perikanan tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja mengemukakan, cantrang yang merupakan turunan dari pukat harimau telah dilarang sejak 1980 karena memicu konflik sosial.
Perkembangan alat tangkap cantrang tak terkendali dari segi jumlah dan ukuran kapal. Akibatnya, muncul konflik antarnelayan dan tumpang tindih daerah penangkapan ikan.
Peraturan terkait cantrang kembali muncul melalui Keputusan Dirjen Perikanan No IK 340/1997 bahwa jaring trawl hanya boleh digunakan nelayan kecil dengan ukuran kapal maksimal 5 gross ton (GT) dan mesin maksimal 15 PK. Pada perkembangannya, banyak alat tangkap dimodifikasi jadi pukat tarik.
Kebijakan pelarangan cantrang kembali ditegaskan pemerintah pada tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2015, dan Peraturan Menteri-KP No 71/2016. ”Peraturan (larangan cantrang) ini bukan hal baru, tetapi persoalan lama yang tertunda-tunda (penyelesaiannya),” kata Sjarief.
Ia menambahkan, pemerintah akan terus melakukan transisi cantrang ke alat tangkap lebih ramah lingkungan. Sejak tahun 2015, pemerintah mulai menggulirkan bantuan alat tangkap pengganti cantrang untuk kapal berukuran di bawah 10 GT.
Ke depan, pihaknya akan mendorong kapal-kapal cantrang ukuran besar di pantai utara Jawa untuk beralih alat tangkap. Kapal-kapal ini bisa mengisi perairan dalam negeri yang kosong ditinggalkan kapal asing. ”Pemerintah akan memprioritaskan pengurusan izin kapal eks cantrang hasil ukur ulang yang beroperasi di wilayah timur Indonesia,” kata Sjarief.
Pada 2015-2017, jumlah bantuan penggantian cantrang ke alat tangkap ramah lingkungan sebanyak 9.021 unit. Tahun ini, KKP telah menerima usulan bantuan penggantian cantrang 3.900 unit untuk kapal berukuran di bawah 10 GT.
Direktur Kapal dan Alat Penangkapan Ikan KKP Agus Suherman mengemukakan, kapal cantrang di atas 10 GT semula terdata 1.223 unit. Setelah dihitung ulang, berkurang menjadi 955 unit, meliputi 226 kapal ukuran 10-30 GT dan 729 kapal ukuran di atas 30 GT. Dari jumlah itu, sebanyak 202 kapal sudah beralih alat tangkap. Selebihnya, 753 kapal belum beralih.
Terkait kapal-kapal cantrang berukuran besar di atas 30 GT, lanjut Agus, pemerintah akan mengarahkan peralihan kapal-kapal itu ke Laut Arafura, Natuna, dan utara Bitung yang kaya ikan.
Seluruh operasional kapal ukuran di atas 30 GT dilakukan dengan perizinan pemerintah pusat. Adapun kapal cantrang berukuran di bawah 30 GT akan didampingi permodalan pada transisi penggantian alat tangkap. ”Transformasi memang butuh waktu karena ini terkait budaya,” kata Agus.
Perlu diatur
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Tegal, sejumlah perwakilan nelayan dari Tegal, Batang, Rembang, Juwana-Pati (Jawa Tengah) meminta kepada presiden agar cantrang tidak dilarang, tetapi diatur. Selain itu, muncul usulan adanya uji petik penggunaan cantrang (Kompas, 16/1).
Pada Rabu (17/1), tuntutan para nelayan ini akan dibahas dalam pertemuan antara perwakilan nelayan cantrang dari Jawa Tengah, bupati, dan Menteri Kelautan dan Perikanan di Istana Kepresidenan Jakarta.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP Zulficar Mochtar mengemukakan, kajian ekologi, ilmiah, dan sosial terkait cantrang sudah selesai dilaksanakan pemerintah. ”Secara teknis operasional, cantrang menyerupai trawl,” katanya.
Hal senada dikemukakan anggota staf pengajar Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Chandra Nainggolan. Cantrang merupakan alat tangkap yang merusak karena menggerus sumber daya perairan.
Sementara itu, anggota staf pengajar Manajemen Sumber Daya Perairan Institut Pertanian Bogor, Nimmi Zulbainarni, mengemukakan, dampak penggunaan cantrang dan sejenisnya tidak bisa digeneralisasi. Hal itu tergantung pada lokasi dan cara nelayan mengoperasikan alat tangkap tersebut.
”Dampak kerusakan lingkungan tergantung kedalaman laut di mana alat itu dioperasikan, ukuran mata jaring, dan penggunaan pemberat,” katanya.
Nimmi menambahkan, semua alat tangkap ikan berpotensi merusak lingkungan jika tidak dikendalikan dengan baik dan tidak dioperasikan dengan benar. Bahkan, alat tangkap yang dianggap ramah lingkungan oleh pemerintah, seperti jaring insang juga berpotensi memiliki hasil sampingan berupa hiu martil, spesies yang sudah dilarang untuk ditangkap. ”Tidak ada satu pun negara di dunia melarang (alat tangkap), melainkan mengendalikan dan membatasi alat tangkap,” katanya. (LKT)