Sering terjadi harga gabah petani turun atau anjlok pada saat panen raya. Pengepul atau pedagang berlomba-lomba menyerap gabah petani dengan harga murah karena petani membutuhkan dana segar untuk menikmati hasil panen. Mungkin siklus itu terjadi hampir setiap tahun.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya perubahan paradigma. ”Jangan sampai kita hanya berkutat di sektor budidaya yang berkaitan dengan benih, pupuk, dan insektisida. Itu memang penting. Akan tetapi, kalau ingin mendapatkan keuntungan besar, paradigma kita harus masuk ke agrobisnisnya,” kata Presiden (Kompas, 13/9/2017).
Dengan paradigma itu, petani atau kelompok petani diajak untuk mengelola bisnis pertanian dari segala tahapan, baik pratanam, masa tanam, masa panen, dan pascapanen secara profesional, modern, terlembaga, efisien, dan menguntungkan. Intinya, terjadi korporatisasi pertanian.
Lalu, bagaimana mendorong perubahan paradigma agrobisnis terwujud dan terimplementasi secara konsisten? Di sinilah pentingnya kerja sama badan usaha milik negara (BUMN), pemerintah daerah, kelompok petani, termasuk badan usaha milik desa (BUMDes), serta pelaku usaha swasta.
Kementerian BUMN mendorong pembentukan PT Mitra Bumdes Nusantara (PT MBN) oleh sejumlah BUMN. PT MBN kemudian bekerja sama dengan BUMDes dan kelompok petani untuk mewujudkan korporatisasi pertanian, terutama tanaman padi.
Kerja sama PT MBN dengan BUMDes dan kelompok tani itu diwujudkan dengan membentuk PT Mitra Bumdes Bersama (PT MBB) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kabupaten Indramayu menjadi salah satu daerah percontohan (pilot project) kewirausahaan dan sistem digitalisasi pertanian.
Melalui PT MBN dan PT MBB, sejumlah BUMN terlibat dalam mengembangkan korporatisasi pertanian dari tahap pratanam sampai pascapanen serta pemasaran hasil pertanian. Misalnya, pada tahap pratanam, PT Askrindo dan PT Jasindo berkontribusi dalam penyediaan jasa asuransi bagi petani dan lahan petani dari potensi gagal panen.
Pada tahap tanam, penyediaan benih dan pupuk dilakukan PT Pupuk Indonesia dan PT Pertani melalui PT MBB. Pada tahap panen, penyediaan jasa penyimpanan dan resi gudang dilakukan oleh PT Pegadaian. Adapun pada tahap pascapanen dan pemasaran, Perum Bulog dan PT Pupuk Indonesia Pangan, yang merupakan anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero), akan menyerap gabah petani.
Aplikasi
Untuk memudahkan manajemen siklus agrobisnis tersebut, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Persero) sudah membuat sistem aplikasi digital untuk pendataan petani, kepemilikan lahan petani, dan produksi petani dalam suatu sistem basis data. Berbagai layanan dapat juga dilakukan melalui aplikasi itu, misalnya pengajuan kredit usaha rakyat (KUR) atau layanan lain, seperti informasi cuaca dan harga komoditas.
Upaya yang dilakukan BUMN itu tentu sangat bagus. Namun, yang tak kalah penting, bagaimana menjaga keberlanjutan sistem kewirausahaan dan sistem digitalisasi pertanian agar berjalan dengan baik, lancar, dan meluas ke beberapa daerah di Indonesia. Selain itu, bagaimana pula dilakukan pendampingan terhadap petani agar dapat berkembang dalam paradigma agrobisnis atau korporatisasi pertanian.
Untuk itu, keterlibatan pemerintah daerah, terutama Dinas Pertanian, sangat penting dalam memberi pembinaan dan penyuluhan. Produk gabah yang dihasilkan petani tentu lebih bernilai tambah jika dapat dijual dalam bentuk produk beras yang dikelola PT MBB.
Mata rantai bisnis ini dapat dikelola oleh kelompok petani, BUMDes dan BUMN agar dapat memiliki skala yang besar dan meluas di sejumlah daerah. Jika perputaran uang di daerah bergerak lebih cepat, pemerataan ekonomi diharapkan akan terjadi. (FERRY SANTOSO)