Jakarta, Kompas – Setelah lima tahun terkunci, manggis Indonesia bisa masuk ke pasar China secara langsung. Ekspor 1 ton manggis dari Subang, Jawa Barat, oleh PT Agung Mustika Selaras dari Bandar Udara Soekarno Hatta Tangerang, Banten, Kamis (18/1), menandai masuknya kembali “ratu buah tropis” itu ke Negeri Tirai Bambu.
Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian, Banun Harpini, dalam siaran persnya menyatakan, sebelumnya China melarang masuk manggis asal Indonesia. Namun, manggis Indonesia tetap saja masuk ke China melalui Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian lalu melapor ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Geneva pada 27-28 Oktober 2016 terkait pelarangan itu.
Setelah melalui proses negosiasi, Badan Karantina Pertanian RI dan otoritas karantina China (Administration of Quality Supervision Inspectiond Quarantine of the Peoples Republic of China) menandatangani kesepakatan protokol manggis.
Protokol itu menyusul kesepakatan lain terkait perdagangan kedua negara pada komoditas sarang burung walet dan salak.
Banun menambahkan, buah manggis yang diekspor tersebut berasal dari perkebunan di daerah Subang, Jawa Barat, yang telah didaftar Kementerian Pertanian.
Sebelum dikemas, manggis telah dicuci dengan cairan disinfektan dan disemprot dengan udara bertekanan tinggi serta dikemas dalam keranjang yang telah dilapisi kertas untuk menghindari serangga dalam perjalanan.
Proses penyortiran dan pengemasan berada di bawah pengawasan petugas Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.
Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada organisme pengganggu berupa serangga hidup seperti kutu putih, semut, dan serangga hidup lain terbawa di dalam buah.
Selain itu, proses itu untuk memastikan buah memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam protokol.
China menyepakati permintaan 2.000 ton manggis asal Indonesia pada musim panen tahun 2018. Selain kebun yang telah terdaftar, China meminta eksportir memenuhi persyaratan rumah kemas yang terdaftar dan bebas dari organisme pengganggu, khususnya lalat buah, kutu putih, dan kutu tempurung.
“Kami mendorong petani untuk berproduksi dengan standar ekspor sehingga mendapat nilai lebih sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidupnya,” ujarnya.