Menjaga Gerabah Lampung
Puluhan pot bunga, guci, dan celengan yang terbuat dari tanah liat memenuhi gerai milik Ujang Suhendi (43) di Desa Negera Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Kerajinan gerabah tersebut tidak akan lama tinggal di gerai. Para pemesan segera saja datang untuk mengambilnya. Sebagian lagi dikirim ke sejumlah provinsi di Sumatera.
Usaha pembuatan gerabah di desa itu sudah berjalan sejak puluhan tahun lalu. Pada 1990-an, ada sekitar 20 warga desa yang membuka usaha pembuatan gerabah. Mereka membuat berbagai macam alat rumah tangga dari gerabah, antara lain asbak, pot bunga, gentong air, ulekan, dan celengan. Namun, tak banyak warga yang mempertahankan usaha mereka saat berbagai produk peralatan rumah tangga yang terbuat dari plastik keluaran industri merambah pasar.
Saat ini, hanya tersisa enam warga yang bertahan dengan usaha pembuatan gerabah. Salah satunya Ujang Suhendi. Lewat inovasi produk, Hendi, sapaan Ujang Suhendi, membuktikan bahwa kerajinan gerabah dari Lampung masih diminati masyarakat.
Sebelum membuka usaha pembuatan gerabah di Lampung pada 2005, Hendi telah menguasai teknik pembuatan gerabah sejak lama. Keterampilan itu diajarkan oleh orangtuanya yang merupakan perajin gerabah di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Dengan modal usaha Rp 2 juta, Hendi memberanikan diri membuka usaha pembuatan gerabah. Saat itu, sudah banyak perajin lain yang menjalankan usaha gerabah lebih dulu. Warga desa memilih membuat gerabah karena bahan baku tanah liat mudah diperoleh di sekitar desa mereka.
”Saya tidak ingin keterampilan yang sudah diajarkan orangtua saya tersebut hilang begitu saja. Oleh karena itu, saya meneruskan usaha gerabah. Saya hidup dari usaha ini,” kata Hendi saat ditemui di gerai yang sekaligus rumahnya, beberapa waktu lalu.
Di awal usaha, Hendi memasarkan gerabahnya seorang diri ke toko-toko di Kota Bandar Lampung. Selanjutnya, untuk memperluas pasar, Hendi pun berkeliling ke kota-kota lain di sejumlah provinsi di Sumatera.
Hampir semua provinsi di Sumatera sudah ia datangi, mulai Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, hingga Sumatera Utara. Hanya Provinsi Aceh yang belum pernah ia datangi.
”Saya membawa sendiri gerabah dengan truk dan mendatangi ratusan toko kerajinan demi menarik pembeli. Selain pembeli eceran, pelanggan setia saya ada sekitar 50 toko yang tersebar di sejumlah provinsi,” katanya.
Berinovasi
Hendi menyadari, saat ini banyak produk dari plastik berharga murah buatan industri yang membanjiri pasar. Tidak sedikit pula masyarakat yang memilih produk plastik ketimbang gerabah karena harganya lebih murah.
Namun, hal itu tidak membuat Hendi patah semangat. Dia justru menjadikan fenomena itu sebagai tantangan yang menuntutnya untuk terus berinovasi. Hendi meyakini, dengan inovasi, kerajinan gerabah akan selalu punya tempat di hati masyarakat.
Sejak menekuni usaha gerabah sekitar 12 tahun lalu, Hendi telah beberapa kali mengeluarkan produk yang inovatif. Pada 2005, Hendi lebih banyak membuat gerabah berupa guci dan pot bunga dengan motif bunga serta warna yang cerah sesuai tren saat itu.
Namun, seiring konsep rumah atau kantor minimalis dan modern yang kian digemari, tren kerajinan gerabah juga berubah. Guci dan pot bunga dari gerabah dibuat dengan tambahan bahan lainnya, misalnya pasir dan kaca, agar tampak alami. Warnanya pun dibuat lebih gelap agar tampak minimalis untuk mempercantik rumah atau kantor.
Proses pembuatan gerabah memerlukan waktu lima-tujuh hari. Setelah proses mencetak bentuk, gerabah yang masih basah dijemur di bawah terik matahari selama satu-dua hari. Untuk mendapatkan kualitas yang baik dan tidak mudah pecah, gerabah dibakar di dalam oven selama 12 jam. Setelah itu, gerabah melalui tahap penyelesaian
berupa pengecatan atau penambahan aksesori. Setelah jadi, gerabah bisa langsung dikirim ke pembeli.
Kini, Hendi sudah bisa merasakan hasil kerja kerasnya. Hasil penjualan gerabah bisa ia gunakan untuk menambah modal usaha, menyekolahkan anak-anaknya, dan membangun rumah. Yang terpenting, Hendi membantu membuka peluang usaha bagi 20 warga di sekitar rumahnya untuk menjadi karyawannya.
Setiap bulan, usaha kerajinan gerabah yang dijalankan Hendi menghasilkan sekitar 1.000 guci, pot bunga, dan celengan. Berbagai produk itu dijual dengan harga paling murah Rp 2.000 dan paling mahal Rp 1,5 juta.
Setiap bulan, Hendi mampu meraup omzet puluhan juta rupiah. Pasar terbesar kerajinan gerabahnya adalah Lampung dan Sumatera Barat.
Kendala
Menurut Hendi, kendala terbesar dalam usaha gerabah adalah musim yang kian tak menentu. Saat musim hujan, dia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjemur gerabah. ”Waktu penjemuran di bawah terik matahari yang biasanya hanya satu-dua hari bisa menjadi lima-enam hari,” ujar Hendi.
Selain itu, dia juga masih kesulitan memperoleh pasar dari wilayah Indonesia timur. Sebab, biaya pengiriman gerabah justru lebih mahal dibandingkan dengan harga gerabah.
”Pernah ada pembeli dari Papua yang tertarik membeli gerabah seharga Rp 1 juta. Namun, setelah dirinci, biaya
pengiriman bisa mencapai Rp 4 juta. Akhirnya, pembelian dibatalkan,” ujarnya.
Tak henti berinovasi, Hendi kini sedang coba membuat gerabah dengan penambahan hiasan dari kulit telur atau rotan. Selain itu, Hendi juga ingin memperluas usahanya dengan mencoba merambah pasar ekspor. Dia yakin kualitas produknya dapat bersaing dengan gerabah dari daerah lain, seperti Jawa Barat dan DI Yogyakarta.
Bagi Hendi, usaha kerajinan gerabah yang ditekuninya bukan sekadar bisnis. Melalui usaha itu, Hendi sekaligus memastikan kerajinan lokal dan kebanggaan daerah tersebut bisa terus lestari.