Optimistis di Asia Pasifik
Penilaian mengenai penetrasi bisnis asuransi yang rendah di Asia Pasifik menjadi tantangan bagi perusahaan asuransi jiwa AIA, yang fokus ke kawasan ini. Beroperasi di 18 negara di Asia Pasifik, termasuk di Indonesia, AIA kini melayani lebih dari 54 juta pemegang polis.
Untuk mengetahui rencana ekspansi AIA di pasar Asia Pasifik, Kompas bersama sejumlah media berkesempatan mewawancarai Executive Director, Group Chief Executive, dan President Group AIA Ng Keng Hooi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Puaskah Anda dengan perkembangan perusahaan sejauh ini?
Semua yang telah diraih perusahaan hingga di titik ini sangat membanggakan. Kerja keras perusahaan selama hampir seabad telah membuahkan sebuah merek jasa keuangan terkuat di Asia dan nomor dua terbesar di dunia. Namun, semakin dekat dengan sejarah 100 tahun AIA, saya masih belum bisa merasa bahagia. Kenapa? Karena banyak sekali orang yang belum mendapat perlindungan asuransi. Tidak bisa dimungkiri, semua orang butuh perlindungan asuransi. Sayangnya, tidak semua orang menginginkan perlindungan asuransi. Tingkat proteksi yang masih rendah adalah ruang bagi kami untuk terus berkembang. Potensi kami untuk berkembang tidak terbatas dan dalam 100 tahun pertama, kami sudah mengawalinya dengan baik.
Sejauh apa optimisme Anda terhadap pasar asuransi Asia Pasifik?
Dalam 15-20 tahun terakhir premi asuransi di Asia Pasifik, di luar Jepang, masih berkisar 1-2 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Timpang jika dibandingkan dengan Amerika Utara yang lebih dari 3 persen atau Eropa Barat lebih dari 4 persen. Di Jepang justru 8 persen dari PDB. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Pasifik sangat baik sehingga peluang pembelian produk asuransi juga bakal meningkat. Kami akan terus meningkatkan kerja sama dengan semua mitra strategis di kawasan. Kami memiliki mitra strategis di hampir semua negara. Akhir tahun lalu, kami mengakuisisi CommInsure Life and Sovereign, bisnis asuransi jiwa CBA di Australia dan Selandia Baru. Di regional Asia Pasifik, bisnis kami tumbuh 30 persen dalam 7 tahun terakhir. Melihat situasi ini, kami yakin bisa melanjutkan pertumbuhan.
Bagaimana strategi Anda meningkatkan penetrasi pasar?
Kami menyiapkan beberapa strategi untuk penguatan lini bisnis, mulai dari pemanfaatan teknologi hingga peningkatan sumber daya manusia (SDM). Selain mitra perbankan dan perusahaan jasa keuangan lain, agen juga tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan bisnis asuransi. Saya tidak tahu ini mengejutkan atau tidak, kenyataannya secara global distribusi premi asuransi AIA Grup didominasi agen, dengan perbandingan 70 persen agen dan 30 persen mitra jasa keuangan. Produk asuransi adalah layanan yang membutuhkan pendekatan secara personal untuk meraih pelanggan potensial. Lewat agen-agen yang profesional, penetrasi pasar akan lebih mudah dilakukan. Untuk itu, kami akan tetap fokus dalam meningkatkan kapasitas SDM terbaik kami, baik agen maupun staf. Tidak lupa juga kami terus mengembangkan layanan pelanggan digital. Kami meluncurkan platform digital untuk membantu agen dalam memberikan layanan agar lebih cepat dan lebih efisien.
Apakah dapat secara spesifik dilakukan di pasar Indonesia?
Uniknya untuk pasar Indonesia, distribusi layanan asuransi justru didominasi mitra jasa keuangan dibandingkan dengan agen, yakni 70 persen berbanding 30 persen. Perbankan masih menjadi kanal utama pendorong pertumbuhan premi asuransi AIA karena mayoritas agen kami di Indonesia bekerja secara paruh waktu. Padahal, dalam bisnis yang bersifat personal ini, dibutuhkan agen-agen yang berkomitmen untuk bekerja secara penuh untuk memberikan layanan terbaik kepada pelanggan. Langkah awal untuk pasar Indonesia, kami akan membuat rasio distribusi premi asuransi menjadi 50 : 50 antara agen dan mitra perbankan terlebih dahulu demi menjaga pertumbuhan berkelanjutan. Untuk alasan pendekatan pribadi, AIA telah memutuskan tidak mengalokasikan penjatahan khusus untuk pengembangan layanan pelanggan digital di Indonesia. Di Indonesia, mendorong pelanggan untuk mengenal produk asuransi atau mendaftar secara mandiri melalui internet itu sulit karena meskipun membutuhkan asuransi, masyarakat Indonesia belum tentu merasa memerlukan asuransi. Pelanggan di Indonesia masih perlu diyakinkan secara personal.