JAKARTA, KOMPAS – Generasi milenial di Asia saat ini berbagi lebih dari sekadar ruang kerja dan transportasi. Mereka mulai beralih berbagi akomodasi bersama dalam bentuk tempat tinggal baru di mana para penghuninya memiliki kesamaan dalam gaya hidup.
Temuan ini berdasarkan laporan ”Bridging the Housing Gap” oleh konsultan real estate JLL. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa co-living memperoleh daya tarik di Asia, terutama di Hong Kong dan China, di mana harga rumah yang terjangkau menjadi masalah. Berbagi tempat tinggal antara pelajar dan profesional muda sudah sangat populer di banyak negara, sementara yang membedakan co-living adalah pengelolaannya dilakukan secara profesional.
Sebagian besar pengelola mengutamakan pelayanan dengan aspek komunitas, seperti kelas yoga, pemutaran film, makanan dan minuman gratis, serta acara networking dengan pembicara tamu dan pelatihan yang disesuaikan dengan masing-masing ketertarikan dan minat penghuninya.
”Bagi mereka yang belum mampu membeli rumah sendiri, kehadiran co-living menawarkan solusi yang terjangkau bagi kebutuhan mereka: alternatif untuk mereka yang masih tinggal di rumah keluarga, sewa bersama, atau rumah susun,” kata Denis Ma, Head of Research, JLL Hong Kong. ”Selain itu, komunitas masyarakat juga tertarik dengan skema co-living yang berpotensi memperbaiki kesejahteraan penghuni secara keseluruhan,” katanya.
Di China, konsep co-living dimulai oleh YOU+ International Youth Community, disusul oleh pengelola lain yang muncul pada tahun 2012. Pada akhir tahun 2016, terdapat hampir 90 pengelola di seluruh China. Vanke Port Apartment adalah salah satu pengelola terbesar China, yang memiliki lebih dari 60.000 unit. Sementara itu, YOU+ mengoperasikan 16 properti, Mofang juga bertambah menjadi sekitar 15.000 unit, ZiRoom mengoperasikan 7 properti, dan Coming Space mengelola 10.000 unit.
”Permintaan generasi milenial untuk co-living sangat besar di China. Dalam lima tahun terakhir terdapat 43 juta mahasiswa yang baru lulus kuliah. Dengan tingginya harga perumahan di China, dibutuhkan waktu setidaknya tiga sampai lima tahun bagi mereka untuk bisa membeli rumah sendiri, dan itu berarti mereka harus menyewa atau mencari alternatif tempat tinggal jangka pendek. Karena itu, co-living jelas opsi yang menarik,” kata Joe Zhou, Head of Research JLL China.
Terinspirasi fenomena co-working, beberapa pengelola telah membawa pekerjaan dan gaya hidup ke dalam satu tempat. Misalnya di India, saat ini terdapat empat perusahaan usaha rintisan yang memiliki fokus pada co-living di Gurgaon dan dua yang berbasis di Bangalore.
Di Singapura, Aurum Investments, anak perusahaan dari co-working space Collision8, berinvestasi di sebuah startup co-living baru bernama Hmlet. Ada juga startup 5Lmeet yang berbasis di Beijing yang tidak hanya bergerak dalam berbagai akomodasi, perusahaan ini juga menawarkan penghuninya sebuah kantor terbuka dan fasilitas lain, seperti restoran, tempat olahraga, dan ruang acara.
Investor-investor beralih ke ”co-living”
Didukung sulitnya memiliki rumah dan sedikitnya pasokan perumahan, pasar co-living terbukti menarik bagi investor dan pemilik properti, terutama di sektor perhotelan.
”Hotel butik dan hotel budget adalah salah satu jenis properti pertama yang diubah menjadi ruang co-living dikarenakan ukuran unit dan tim operasi yang serupa,” kata Zhou. ”Namun, untuk mengubah properti lain menjadi co-living, harus melewati proses hukum dan perencanaan yang rumit sehingga akan membutuhkan waktu dan biaya,” katanya.
Menurut Ma, pertimbangan lainnya adalah daya tahan dan keusangan. Banyak rumah co-living baru yang menyediakan desain interior modern. Hal inilah yang membuat para penghuni tertarik. Apakah ruang bersama ini dapat mempertahankan daya tarik mereka setelah beberapa tahun? Hal ini akan bergantung pada seberapa banyak pengelola berinvestasi dalam perawatannya.