Kerap kita mendengar harga bahan bakar minyak di wilayah pelosok, jauh dari perkotaan, atau berkilo-kilometer dari agen penyalur resmi berlipat-lipat lebih mahal daripada harga ketetapan pemerintah. Untuk premium dan solar bersubsidi, pemerintah menetapkan harga masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter. Kenyataannya, di wilayah itu, harga melambung Rp 10.000 per liter sampai Rp 50.000 per liter.
Meroketnya harga bahan bakar minyak (BBM) paling banyak terjadi di bagian timur Indonesia, seperti Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Kondisi geografis berupa kepulauan dan medan bergunung, sungai, atau rimba menyebabkan akses pendistribusian sulit. Moda transportasi yang dipakai untuk mengirim BBM ke wilayah-wilayah itu beragam, seperti pesawat udara, kapal, dan truk.
Tak adil rasanya, BBM yang sebagian disubsidi dari uang rakyat dijual kembali dengan harga jauh lebih mahal kepada rakyat. Penyebabnya, BBM yang dibeli dari agen penyalur resmi yang kebanyakan ada di kota dijual kembali ke wilayah kampung atau pelosok yang tidak terdapat agen penyalur resmi. Lantaran faktor pengangkutan, harga jual eceran menjadi lebih mahal. Berdasar catatan Kompas, harga BBM eceran di Papua beragam, misalnya Boven Digoel Rp 15.000 per liter, di Sarmi Rp 20.000 per liter, dan di Nduga sampai Rp 50.000 per liter.
Pemerintah menggagas program BBM satu harga dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan secara Nasional. Dengan sasaran wilayah terpencil, terluar, dan terdepan, harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi harus seragam di seluruh Indonesia dengan memperbanyak pembangunan agen penyalur resmi.
Data dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), sampai akhir 2017, program BBM satu harga sudah terealisasi di 57 titik. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi di 54 titik. Sampai 2019, total target realisasi program BBM satu harga sebanyak 150 titik.
Kenyataannya, program ini tak sepenuhnya berjalan mulus. BBM satu harga umumnya hanya berlaku di agen penyalur resmi. Di luar itu, pengecer masih menjual kembali dengan harga suka-suka penjualnya. Laporan lainnya menyebutkan bahwa program BBM satu harga hanya berlangsung beberapa jam setelah pasokan BBM tiba di agen penyalur. Selebihnya, BBM diborong pengecer menggunakan jeriken atau tangki mobil yang dimodifikasi.
Menurut Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, salah satu kelemahan pendistribusian BBM dalam program ini adalah tiadanya pengawasan dan pengendalian penjualan. Menurut dia, pemborong BBM dengan jeriken atau tangki modifikasi untuk dijual kembali harus dicegah. Pihaknya berencana menggandeng kepolisian untuk dilibatkan dalam pengawasan pendistribusian BBM pada program ini.
Subpenyalur
Cara lainnya adalah dengan pembentukan ”pengecer resmi” yang dalam istilah BPH Migas disebut sebagai subpenyalur. Status mereka legal dan diperbolehkan menjual BBM eceran dengan harga lebih mahal daripada harga resmi yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja, penetapan harga jual BBM di tingkat subpenyalur ini diatur dalam peraturan bupati setempat.
Ketentuan mengenai subpenyalur ini ada di dalam Peraturan BPH Migas No 6/2015 tentang Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan pada Daerah yang Belum Terdapat Penyalur. Perwakilan atau kelompok masyarakat di wilayah yang belum ada penyalur BBM dapat ditunjuk sebagai agen subpenyalur oleh pemerintah daerah setempat. Syarat-syarat subpenyalur diatur dalam peraturan ini. Harga jual BBM di tingkat subpenyalur ditentukan bupati lewat peraturan bupati. Perhitungannya, harga eceran resmi yang ditetapkan pemerintah ditambah ongkos angkut dari agen penyalur minyak dan solar atau stasiun pengisian bahan bakar untuk umum sampai ke lokasi subpenyalur.
Kendati subpenyalur boleh menjual BBM eceran dengan harga lebih tinggi, campur tangan kepala daerah dalam penentuan harga yang wajar diharapkan bisa mencegah lonjakan harga BBM eceran. Peran kepala daerah patut digarisbawahi untuk pengendalian harga BBM, khususnya wilayah terpencil. Tanpa itu, program BBM satu harga hanya menjadi ladang baru bagi para pemburu rente hilir migas. (ARIS PRASETYO)