JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil dari sejumlah organisasi akan mengevaluasi penerapan Undang-Undang Desa yang telah berjalan selama tiga tahun. Dalam pandangan sejumlah organisasi ini, pelaksanaan UU Desa terkesan direduksi hanya sebagai penyaluran dana desa, belum menempatkan masyarakat desa sebagai subyek. Di sisi lain, eksploitasi sumber daya alam di desa masih memarjinalkan masyarakat desa.
”Kami khawatir dengan sistem pengelolaan desa serta cara mengelola dana desa. Desa hanya dilihat dalam kerangka administratif dan geografis di tengah euforia dana desa yang terjadi. Akan tetapi, masyarakat tidak mengenal adanya kelemahan UU Desa yang substansial,” kata peneliti dari Ecosoc Institute, Sri Palupi, Selasa (23/1), di Jakarta.
Menurut Palupi, kelemahan UU Desa antara lain belum cukup melindungi warga dari perilaku buruk para elite desa. Selain itu, asumsi dalam mengatur desa didasarkan pada visi yang bersifat mitos, seperti harmonis, bekerja sama, dan saling membantu. UU Desa juga dinilai miskin perspektif jender.
Perwakilan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Niko Amrullah, mengatakan, UU Desa memberikan kewenangan penuh kepada masyarakat desa, terutama di pesisir, untuk memanfaatkan kewenangan berdasarkan asal-usulnya. ”Namun, praktiknya masyarakat tidak tahu. Artinya, pemerintah belum memberikan edukasi khusus bagi masyarakat desa pesisir,” kata Niko.
Perwakilan dari Kemitraan, Alexander Mering, menambahkan, UU Desa sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk melindungi hak-hak komunitas adat. Sebab, banyak kasus yang menempatkan masyarakat adat ilegal di suatu kawasan, seperti hutan lindung. Padahal, mereka sudah berada di sana sejak sebelum negara ini dibentuk.
Refleksi 3 Tahun Pelaksanaan UU Desa berlangsung dua hari, 23-24 Januari. Setidaknya 13 lembaga swadaya masyarakat terlibat. Hasil refleksi akan diserahkan ke Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (NAD)