Tata Kelola Garam Dibenahi
Pada 2018, pemerintah membuka impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton. Keputusan itu ditetapkan dalam Rapat Koordinasi Bidang Pembahasan Kebutuhan Garam untuk Industri di Kementerian Koordinator Perekonomian pada 19 Januari.
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Cucu Sutara, Kementerian Perindustrian yang membina industri bertanggung jawab dalam penyediaan bahan baku industri, termasuk garam industri dengan data valid dari berbagai industri pengguna garam.
”Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan bertanggung jawab dalam upaya memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri. Produksi garam dalam negeri dipengaruhi banyak faktor, terutama iklim. Kegagalan panen garam akibat iklim yang tidak menentu akan mengakibatkan gejolak harga dan persoalan pasokan,” ujar Cucu ketika dihubungi pada Selasa (23/1).
Garam produksi dalam negeri lebih banyak masuk ke pasar konsumsi karena kadar NaCl yang belum memenuhi syarat untuk digunakan sebagai garam industri.
”Berat pula bagi industri kalau harus disuruh menaikkan kadar NaCl karena membutuhkan teknologi dan biaya. Biaya produksi yang mahal akan menghilangkan daya saing industri,” ujarnya.
Terkait dengan kekhawatiran ada rembesan, menurut Cucu, hal itu harus diawasi secara terintegrasi. Langkah tersebut penting untuk mengawasi dan mengendalikan garam impor. Apabila memang ditemukan rembesan garam impor karena ada pengusaha atau importir yang nakal, pemerintah harus menindak tegas dengan mencabut izin dan tidak memberikan izin lagi kepada mereka.
Pelaku industri pengguna garam berharap jangan sampai terjadi polemik yang akan mengganggu industri. Garam industri merupakan bahan pokok bagi industri. ”Tanpa ada bahan baku, produksi akan berhenti sehingga berdampak bagi jutaan karyawan,” ujar Cucu.
Menurut Cucu, kebutuhan garam industri yang saat ini mencapai 3,7 juta ton bisa menjadi peluang bagi petambak garam untuk mengisinya. ”Sampai hari ini belum mampu. Swasembada untuk garam konsumsi memang sudah tercapai, tetapi belum untuk garam industri,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar menuturkan, usulan impor garam industri didasarkan pada kebutuhan garam industri yang sekitar 3,77 juta ton.
”Sebagai pembina industri, kami berkoordinasi dengan industri. Mereka menyampaikan data-data terkait dengan kebutuhan dan produksi. Data ini kami olah sehingga kami bisa mengetahui kebutuhan garam industri dalam struktur produksi mereka,” kata Haris.
Tak terserap
Lonjakan impor garam menuai keluhan petambak garam. Saat ini, stok garam petambak hasil panen pada 2017 tidak terserap di sejumlah sentra produksi.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan mengemukakan, sekitar 30 persen stok garam rakyat dari hasil panen tahun lalu belum terserap pabrik ataupun industri. Alasannya, pabrik sudah kelebihan stok.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, stok garam rakyat per 18 Januari 2018 sejumlah 87.328 ton tersebar di 17 kabupaten.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengutarakan, pihaknya menerima laporan bahwa garam rakyat di sejumlah sentra produksi saat ini tidak terserap oleh pabrik dan industri.
Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai, impor garam dalam jumlah besar tidak akan menyelesaikan masalah yang berulang setiap tahun. Pelonggaran impor garam menambah buruk persoalan tata kelola. Ketua KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, upaya penyelesaian krisis garam oleh pemerintah belum optimal dari hulu ke hilir.
Di sisi hulu, teknologi garam yang diterapkan petambak tidak mampu menghasilkan kontinuitas produksi. Faktor cuaca selalu dituding memengaruhi fluktuasi produksi garam. Kebijakan impor garam dalam 10 tahun terakhir terjadi secara berlebihan sehingga melumpuhkan produksi garam nasional.
Produksi garam rakyat menjadi tidak menguntungkan, petambak garam dirugikan oleh kebijakan impor sehingga sebagian petambak beralih profesi, dan lahan produksi garam kian menyempit.
”Kapasitas produksi garam yang tidak menentu dijadikan alasan garam rakyat tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional. Padahal, tidak ada keberpihakan negara untuk mendorong produksi berkualitas dan bisa terserap,” kata Marthin.
Petambak berkurang
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, dalam lima tahun terakhir, jumlah petambak garam di Indonesia menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada 2012 menjadi 21.050 jiwa pada 2016. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi. Sebagian besar menjadi buruh kasar atau pekerjaan informal lain serta berkontribusi terhadap fenomena migrasi kemiskinan dari desa ke kota.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengemukakan, impor garam yang terus dilakukan mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan. Selama kebijakan impor dilakukan, mustahil dapat berdaulat dan swasembada garam pada 2020.
”Swasembada garam nasional harus menjadi prioritas utama untuk keluar dari perangkap ketergantungan pada impor garam,” katanya. (CAS/LKT)