JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan Undang-Undang Desa masih belum sesuai harapan. Dalam penerapan tiga tahun terakhir, UU Desa lebih banyak diartikan sebagai penyaluran dana desa.
Padahal, hal yang lebih mendasar, melalui UU Desa, wewenang masyarakat desa untuk mengatur desa masing-masing menjadi jauh lebih besar.
”Benar sekali UU Desa disimplifikasi hanya menjadi soal dana desa. Yang penting dari UU Desa adalah pengakuan hak atas desa untuk mengurus dan mengatur itu dikembalikan ke dalam desa. Ini pengakuan negara kepada desa,” kata Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Taufik Madjid dalam acara Refleksi UU Desa, Rabu (24/1), di Jakarta.
Menurut Taufik, mulai 2015 sampai dengan 2017, dana sebesar Rp 127 triliun telah dikucurkan melalui dana desa ke 74.910 desa. Jumlah itu belum termasuk dari sumber lain, yang jika dijumlahkan mencapai Rp 500 triliun.
Taufik khawatir, dana dalam jumlah besar itu membuat desa hanya menggantungkan pendapatan mereka dari pemerintah pusat. Di samping itu, kreativitas desa bisa mati.
Di sisi lain, lanjut Taufik, kapasitas kepala desa juga mesti dibenahi. Sebab, sebagian besar kepala desa hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Akibatnya, tata kelola desa buruk. Bahkan, ada kejadian gizi buruk. Padahal, sumber daya alam melimpah di desa. Apalagi, kepemilikan lahan belum didapatkan sepenuhnya oleh masyarakat desa.
Oleh karena itu, redistribusi lahan hingga 9,7 juta hektar menjadi salah satu hal yang diupayakan pemerintah. Taufik berharap, evaluasi dapat menyentuh akar permasalahan.
Distorsi
Dalam acara itu, pembicara dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, M Imam Azis, mengatakan, UU Desa mulai diberlakukan di awal pemerintahan saat ini. Sejak awal, hal yang dikenalkan terkait dengan UU Desa kepada masyarakat adalah dana desa, bukan hal lain. Akibatnya, UU Desa seakan-akan hanya terkait dengan dana desa.
”Ini saya kira distorsi yang sangat kuat dan mengkhawatirkan karena desa hanya jatuh ke soal administrasi dan birokrasi. Banyak yang mengawasi, seperti polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, padahal belum apa-apa. Jadi, UU Desa yang semula menjadi harapan baru jadi banyak distorsi,” kata Azis.
Hal senada diungkapkan pembicara dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Isnaeni Muallidin. Menurut dia, penyaluran dana desa memperlihatkan komitmen yang sangat kuat dari negara untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat desa. Namun, dampak dari kucuran dana yang besar itu belum terlalu signifikan. Sementara tugas perangkat desa menjadi sangat birokratis dan administratif.
Dalam seksi diskusi, pembicara dari Indonesian Society for Social Transformation, Nurhady Sirimorok, menambahkan, UU Desa disusun dengan asumsi masyarakat desa demokratis dan partisipatif. Namun, kenyataannya tidak demikian. Dari penelitian di beberapa desa, jika dihadapkan pada ancaman bencana, hanya sedikit desa yang tergolong tangguh. (NAD)