JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengevaluasi kasus kegagalan bangunan dan konstruksi yang terjadi secara beruntun. Berdasarkan evaluasi tersebut, pemerintah merekomendasikan pemeriksaan bangunan dan perbaikan prosedur operasi. Selain itu, pemerintah juga memben-tuk Komite Keselamatan Konstruksi.
”Dari kejadian kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi, perlu perbaikan kebijakan. Kejadian itu terjadi dalam tahap konstruksi dan pascakonstruksi. Karena itu, perlu dilihat sisi prakonstruksi. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri PUPR No 2/2018 tentang Komite Keselamatan Konstruksi. Anggotanya akan segera dilantik,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin, Jumat (26/1), di Jakarta.
Kasus kegagalan bangunan yang dievaluasi adalah runtuhnya selasar tower II Gedung Bursa Efek Indonesia. Disimpulkan, penyebab runtuhnya selasar adalah kegagalan kinerja sambungan yang berfungsi sebagai penggantung.
Untuk kasus kegagalan konstruksi, pemerintah mengevaluasi kecelakaan konstruksi pada pemasangan balok beton (girder). Kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan konstruksi di jembatan overpass Caringin di proyek tol Bogor-Ciawi-Sukabumi pada 22 September 2017, jembatan overpass di proyek tol Pasuruan-Probolinggo pada 29 Oktober 2017, dan jembatan Ciputrapinggan Banjar-Pangandaran pada 9 Desember 2017. Selain itu, dievaluasi pula kecelakaan konstruksi di jembatan overpass di proyek tol Pemalang-Batang dan terakhir pada proyek kereta ringan Jabodebek pada 23 Januari lalu.
Dari evaluasi, disimpulkan beberapa penyebab kegagalan konstruksi antara lain kondisi yang tidak stabil, gantungan crane mengalami pelonggaran sehingga balok berotasi, dan gantungan yang sulit dikontrol.
Ahli keselamatan
Syarif mengatakan, dengan dibentuknya Komite Keselamatan Konstruksi, regulasi yang dibuat pemerintah telah mencakup semua tahap di sektor properti. Komite Keselamatan Konstruksi ini akan memeriksa proyek-proyek yang berisiko tinggi.
”Itu lebih preventif, bukan ketika sudah terjadi,” kata Syarif. Ia juga mengimbau setiap penyedia jasa konstruksi untuk menyediakan ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Direktur Bina Penataan Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Iwan Suprijanto menambahkan, sesuai dengan Undang-Undang Bangunan Gedung dan UU Pemerintahan Daerah, wewenang pengawasan bangunan gedung berada pada pemerintah daerah. Namun, pemerintah menyadari, belum semua pemda memiliki kapasitas untuk melakukannya. Untuk itu akan dibentuk Komisi Keselamatan Bangunan Gedung yang dapat membantu pemda memeriksa kondisi gedung dengan spesifikasi tertentu.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4-Indonesia) Lazuardi Nurdin mengapresiasi pembentukan Komite Keselamatan Konstruksi. Diharapkan, komite ini akan lebih berfungsi saat prakonstruksi dan ketika konstruksi, bukan ketika terjadi kecelakaan konstruksi.
Lazuardi mengatakan, pemerintah sudah mengatur agar dalam sebuah proyek konstruksi, penyedia jasa wajib menyediakan ahli K3. Penyedia jasa juga harus memasukkan alokasi dana K3 dalam penawaran lelang.
Namun, Lazuardi menduga, di lapangan tidak semua proyek melakukan analisis keselamatan dengan menyeluruh. Bahkan,
bisa jadi konsultan pengawas di lapangan tidak memiliki ahli K3. (NAD)