Sepanjang 2017, nilai bitcoin meroket dari sekitar 900 dollar AS pada awal tahun hingga menembus 19.000 dollar AS pada Desember. Roller coaster nilai uang virtual ini berputar kencang. Dalam satu bulan terakhir, nilai bitcoin sempat terpangkas separuh, anjlok hingga mendekati 9.000 dollar AS. Menurut data Coinbase, Jumat (26/1), nilai bitcoin bergerak naik-turun pada kisaran 10.432 dollar AS hingga 11.540 dollar AS dalam 24 jam.
Beberapa pekan terakhir, kabar soal kemungkinan pelarangan perdagangan bitcoin di Korea Selatan—salah satu pasar terbesar uang virtual—memicu sentimen negatif di pasar bitcoin. Kebijakan serupa sebenarnya lebih dulu diambil Pemerintah China.
Ketika nilai bitcoin meroket tahun lalu, menguat pula wacana tentang perlunya koordinasi lintas negara tentang pengaturan uang virtual. Wacana ini, antara lain, dimotori Pemerintah AS dan Perancis. Pada saat bersamaan, China dikabarkan akan melarang ”penambangan” bitcoin di negeri itu.
”Penambangan” atau penciptaan bitcoin secara fisik menyedot energi listrik sangat besar. Biaya listrik bagi kebutuhan komputasi untuk ”menambang” satu bitcoin itu bisa berkisar 3.000-9.000 dollar AS. Berdasarkan data Morgan Stanley, total konsumsi energi pada jaringan bitcoin bahkan setara dengan kebutuhan listrik 2 juta rumah di AS.
Akan tetapi, di luar soal besarnya konsumsi energi yang menggerakkan peredaran uang virtual, kebijakan Pemerintah China terkait produk teknologi ini diyakini lebih didasarkan pada pertimbangan risiko finansial.
Pertimbangan risiko itu pula yang melatari peringatan Bank Indonesia (BI) terkait perdagangan uang virtual di Indonesia. BI menegaskan, uang virtual bukan alat pembayaran yang sah. Karena itu, penggunaan uang virtual dilarang dalam transaksi pembayaran di Indonesia. Meski begitu, belum ada aturan yang jelas mengatur perdagangan uang virtual sebagai komoditas atau aset investasi di Indonesia.
Gelembung
Di antara 1.400 jenis uang virtual yang ada, bitcoin memiliki kapitalisasi pasar terbesar, yakni sekitar 177 miliar dollar AS atau 34,7 persen dari total kapitalisasi pasar uang virtual (data CoinMarketCap). Fenomena bitcoin kerap disebut bak gelembung. Ketika nilai tukarnya anjlok setelah meroket, gelembung itu pun diperkirakan sudah pecah. Kenyataannya, pelan-pelan nilai bitcoin kembali merangkak naik.
Pola spekulasi yang tergambar pada naik-turunnya nilai bitcoin bukan hal mengagetkan bagi kalangan yang menaruh kepercayaan pada uang virtual ini. Bahkan, kepercayaan pasar itulah faktor utama pembentuk nilai bitcoin.
Terkait soal kepercayaan, hal mendasar yang tecermin pada fenomena bitcoin adalah adanya pergeseran kepercayaan. Semula ada kepercayaan penuh pada institusi-institusi yang diawaki manusia dan didukung negara. Kini, kepercayaan itu mulai bergeser pada teknologi yang teruji ketangguhannya dan tak direcoki human error.
Pesawat yang diterbangkan komputer, taksi tanpa pengemudi, robot yang membantu di meja bedah, bisa jadi lebih berisiko daripada investasi pada bitcoin. Kenyataannya, beragam bentuk teknologi yang juga mensyaratkan kepercayaan publik itu pun berkembang.
Sebagian orang memiliki dasar yang kuat untuk mengatakan bitcoin seperti gelembung, menunggu waktu untuk pecah. Akan tetapi, kepercayaan sebagian kalangan lain terhadap ketangguhan teknologi blockchain—yang memungkinkan bitcoin ada dan bekerja—juga tak dapat dimungkiri.
Blockchain menyerupai buku besar (ledger), terdistribusi dalam sistem komputasi yang bekerja secara sinkron pada jaringan. Setiap perubahan hanya dapat dilakukan secara kolektif. Perubahan atau transaksi yang dilakukan pada blockchain itu selalu tersimpan pada transaksi berikutnya.
Teknologi blockchain yang diperkenalkan pada akhir 2008 pertama kali diaplikasikan pada bitcoin. Sejak itu, teknologi ini sudah melahirkan sejumlah uang virtual lain.
Bukan sebatas digunakan pada uang virtual atau cryptocurrency, penggunaan blockchain kini juga menjadi incaran berbagai sektor ekonomi. Aplikasi blockchain bahkan sudah mulai mendongkrak nilai bisnis beragam merek global, mulai dari Kodak hingga De Beers.
Keyakinan akan ketangguhan teknologi blockchain itu ikut mendasari kepercayaan pasar pada bitcoin. Bagi mereka yang percaya, roller coaster nilai bitcoin itu bukan tanda kerentanan spekulasi, melainkan bagian dari proses yang akan membuktikan aset itu teruji. (NUR HIDAYATI)