Keputusan pemerintah mengimpor garam industri sebanyak 3,7 juta ton tahun ini kembali menuai kegaduhan. Jumlah garam impor itu bertambah dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebanyak 2,43 juta ton.
Lonjakan impor garam berlangsung tatkala pemerintah mencanangkan swasembada garam nasional pada 2019. Adapun target swasembada garam itu sudah beberapa kali direvisi. Swasembada garam nasional yang semula ditargetkan pada 2015 mundur menjadi pada 2018, kemudian menjadi pada 2019.
Penetapan impor garam kerap menimbulkan perdebatan, antara lain dipicu data yang berbeda-beda. Kementerian Kelautan dan Perikanan menggunakan acuan data produksi garam rakyat sebagai landasan untuk memutuskan kekurangan garam yang harus diimpor. Sementara Kementerian Perindustrian memiliki data kebutuhan garam bagi sejumlah industri yang belum bisa dipenuhi dari pasokan garam rakyat.
Tahun ini, impor garam untuk industri meningkat, antara lain dengan dalih adanya ekspansi sejumlah sektor industri yang menyebabkan peningkatan kebutuhan garam. Ekspansi itu antara lain dari sektor industri kertas, bubur kertas, rayon, serta industri makanan dan minuman. Adapun suplai garam rakyat dinilai belum mencukupi kebutuhan industri, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
Memang, produksi garam rakyat setiap tahun tak bisa diprediksi. Pada 2017, produksi garam rakyat mencapai 1,11 juta ton atau 34 persen dari target produksi yang sebesar 3,2 juta ton. Pada 2016, produksi garam rakyat mencapai titik nadir, yakni 144.009 ton atau hanya 4,8 persen dari target produksi yang sebanyak 3 juta ton.
Upaya meningkatkan produksi garam telah dilakukan melalui pemberdayaan usaha garam rakyat (pugar). Bahkan, cakupan pugar tahun ini diperluas, dari 15 sentra produksi menjadi 21 sentra produksi, dengan estimasi produksi garam 1,5 juta ton. Pemerintah juga mendorong perluasan lahan produksi garam tahun ini di beberapa wilayah. Akan tetapi, perluasan itu belum menjamin impor garam berkurang.
Selain kondisi geografis dan ketergantungan terhadap cuaca, faktor keterbatasan teknologi dan luas tambak garam jadi penyebab utama produksi garam rakyat yang tak menentu. Cara produksi yang diterapkan petambak masih tradisional. Produksi umumnya dilakukan dengan menguapkan air laut di atas lahan menggunakan energi panas matahari. Jika kemarau basah sepanjang tahun, dipastikan banyak tambak garam gagal panen.
Gejolak juga berlangsung di sisi hilir. Saat musim panen raya, harga garam di petambak anjlok menjadi Rp 300 per kilogram (kg). Baru pada 2016-2017, ketika produksi anjlok, petambak garam bisa menikmati harga tertinggi, yakni Rp 4.000 per kg. Adapun pada awal 2018, harga garam di tingkat petambak berkisar Rp 2.500 per kg. Harga ini jauh di bawah harga garam di pasaran, yang mencapai Rp 8.000-Rp 12.000 per kg. Pemerintah kini tengah mengkaji harga pembelian garam rakyat di kisaran Rp 800- Rp 1.200 per kg, atau hanya 10 persen dari harga garam di pasaran!
Ketidakpastian hulu-hilir garam kian melemahkan upaya petambak untuk meningkatkan produksi. Masa produksi kian menyusut, yakni rata-rata hanya 4 bulan dari yang seharusnya 7-8 bulan per tahun. Selebihnya, tambak dialihfungsikan menjadi lahan tambak bandeng.
Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dalam lima tahun terakhir, jumlah petambak garam menurun drastis. Petambak garam yang pada 2012 berjumlah 30.668 orang, pada 2016 menyusut menjadi 21.050 orang. Artinya, hampir 10.000 orang tak mau lagi jadi petani garam.
Dukungan pemerintah terhadap pembenahan hulu-hilir industri garam wajib dibuktikan. Data lintas kementerian mesti disinkronkan, mulai dari data produksi, kebutuhan riil industri, hingga distribusi. Dari sisi produksi, industrialisasi tambak garam harus segera diwujudkan dengan sentuhan teknologi yang efisien dan ekonomis. Selain itu, tata kelola garam dibenahi dengan memastikan industri menyerap hasil panen rakyat dan menetapkan harga yang layak.
Tahun ini adalah momentum pembuktian. Jangan sampai target swasembada garam mundur teratur, hanya manis dalam rencana. (BM Lukita Grahadyarini)