Dalam tiga tahun terakhir, sektor properti tampak melempem. Kondisi itu berpengaruh terhadap saham-saham sektor properti yang juga tidak ke mana-mana. Akan tetapi, pada awal tahun ini, beberapa saham properti seolah mulai bangun dari tidurnya.
Sekadar kilas balik, sepanjang 2017 lalu, indeks saham konstruksi, properti, dan real estat turun 4,53 persen. Sebaliknya, sektor keuangan mencetak kenaikan paling tinggi, yakni mencapai 27,18 persen disusul sektor konsumsi yang naik 20,87 persen.
Ada beberapa faktor yang diduga memengaruhi kenaikan sektor properti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, diprediksi lebih tinggi didorong oleh kenaikan daya beli masyarakat. Sebagian orang juga membeli rumah, terutama untuk rumah pertama.
Bank Indonesia juga terus memangkas bunga bank. Dengan tingkat suku bunga acuan 4,25 persen, suku bunga kredit diharapkan turun pada tahun ini karena transmisinya sudah terjadi.
Para pengembang juga menantikan aturan pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai aset (LTV) yang rencananya diatur berbeda per daerah. Kelak, tiap daerah memiliki persyaratan uang muka rumah yang berbeda-beda, menurut kondisi ekonomi setempat.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, jembatan, jaringan kereta api, dan lainnya yang sedang dibangun juga akan menopang bisnis properti. Ketika konektivitas semakin lancar, semakin mudah bagi pengembang menjual propertinya.
Kesenjangan antara jumlah rumah yang dibangun pengembang dan kebutuhan masyarakat pun membuat proyek-proyek properti selalu menjadi incaran.
Analis Danareksa, Antonia Febe Hartono, dalam risetnya menyebutkan, nilai penjualan dari emiten-emiten pengembang properti tahun 2017 sebesar Rp 23,1 triliun atau naik 4,7 persen dari tahun sebelumnya. Adapun target gabungan emiten-emiten properti sebenarnya Rp 26,8 triliun.
Tahun ini, diperkirakan ada pertumbuhan penjualan agregat sebesar 8,3 persen menjadi Rp 24,9 triliun. Sementara di pasar sekunder, harga rumah diperkirakan akan mendatar saja.
Di sisi lain, analis properti dari Mirae Asset Sekuritas Franky Rivan mengatakan, masih memandang netral sektor properti. ”Ada beberapa alasan,” katanya. Pertama, ada kelebihan pasokan properti dan belum terlihat inventory days atau jarak antara penyelesaian proyek dan penjualan yang menurun.
Rivan juga berpendapat, ada kemungkinan suku bunga acuan lebih tinggi pada 2018 ini sehingga sentimen terhadap sektor ini melemah. Karena konsumen yang mau membeli rumah harus membayar bunga KPR lebih tinggi.
Meski demikian, Rivan mencermati, harga saham-saham pengembang kini diperdagangkan pada valuasi wajar.
Sejak awal tahun, beberapa saham pengembang properti terpantau mulai naik. Secara teknikal, saham-saham tersebut mulai masuk ke fase penguatannya.
Sejak awal tahun, beberapa saham pengembang properti terpantau mulai naik. Secara teknikal, saham-saham tersebut mulai masuk ke fase penguatannya.
Pada awal tahun ini, beberapa pengembang juga meluncurkan proyek-proyeknya. Dengan demikian, pendapatan pengembang tersebut sudah diakumulasi pada awal tahun.
Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), misalnya, akan meluncurkan dua proyek dengan potensi nilai penjualan antara Rp 100 miliar dan Rp 300 miliar pada awal tahun ini. Summarecon Tbk (SMRA) akan meluncurkan produk baru pada pertengahan Februari dan Alam Sutra Realty Tbk (ASRI) akan meluncurkan produk baru pada Maret mendatang.
Walaupun mungkin, sektor properti ini belum membaik secara signifikan menyamai masa gemilangnya pada tahun-tahun lalu. Namun jika melihat data teknikalnya, saham-saham pada sektor ini dapat mulai dilirik. Lagi pula sebagai investor ataupun trader yang diincar tentu adalah saham dengan nilai serendah mungkin.