Belum Bisa Imbangi Kebutuhan Industri Makanan dan Minuman
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Produksi garam dan gula nasional belum dapat mengakomodasi kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri. Karena itu, pengusaha sepakat untuk mengimpor.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi garam nasional pada 2016 sebanyak 138.645 ton dan 916.900 ton pada 2017. Pada 2018, produksi garam nasional ditargetkan sebanyak 1,8 juta ton.
"Kebutuhan garam kami pada 2016 sekitar 490.000 ton. Pada 2017 naik menjadi sekitar 535.000 ton," kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (30/1).
Pemerintah mengimpor garam sekitar 2 juta ton pada 2016 dan 2,1 juta ton pada 2017. Menurut Adhi, impor garam ini sudah tepat.
Berdasarkan pengalamannya, produksi industri makanan dan minuman sempat terhenti akibat kurangnya pasokan garam pada dua tahun silam.
Dari segi kualitas garam yang diproduksi, petani-petani garam membutuhkan pembinaan dari pemerintah.
Dari segi kualitas garam yang diproduksi, petani-petani garam membutuhkan pembinaan dari pemerintah.
Adhi berpendapat, kadar airnya masih terlalu tinggi dan kadar natrium kloridanya terlalu rendah untuk industri makanan dan minuman.
Jika memanfaatkan garam produksi nasional dengan meningkatkan kualitasnya, ada penyusutan sebanyak 30 persen.
"Tentu ini harus dipertimbangkan. Sejauh ini, mutu produksi PT Garam sesuai ekspektasi," ujar Adhi.
Sementara itu, kebutuhan gula industri makanan dan minuman pada 2016 sebesar 3,2 juta ton. Pada 2017 jumlahnya meningkat menjadi 3,5 juta ton.
Padahal, produksi gula nasional berkisar 2,5 juta ton per tahun sejak 2012 hingga 2015 berdasarkan Statistik Tebu Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik pada 2016.
Karena itu, pemerintah mengimpor gula sekitar 3,3 juta ton pada 2015 dan 4,7 ton pada 2016.
Menurut Direktur Jenderal Industri Agro Panggah Susanto, ini terjadi akibat adanya hal yang tidak mangkus atau efisien dalam pabrik-pabrik gula.
"Kebijakan ini mau tidak mau kontraproduktif dengan perlndungan petani tebu," ujarnya, Selasa.
Target dan pencapaian
GAPMMI menargetkan, pertumbuhan industri makanan dan minuman mencapai 10 persen pada 2018. "Ini disebabkan potensi naiknya peredaran uang selama tahun politik," ucap Adhi.
Sepanjang 2017, Adhi memperkirakan, total omset industri makanan dan minuman mencapai Rp 1.500 triliun. Kontribusi dalam negeri sekitar 70 persen dan sisanya ekspor.
Rata-rata pertumbuhan industri makanan dan minuman pada triwulan satu sampai tiga di atas pertumbuhan industri secara umum.
Panggah memaparkan, industri makanan dan minuman tumbuh 8,24 persen sedangkan pertumbuhan industri secara umum sebesar 5,49 persen.
Dari keseluruhan sektor non-migas, subsektor makanan dan minuman menyumbang kontribusi tertinggi pada produk domestik bruto pada triwulan ketiga dengan proporsinya 34,95 persen.
Subsektor makanan dan minuman menyumbang kontribusi tertinggi pada produk domestik bruto pada triwulan ketiga.
Ekspor produk makanan dan minuman, termasuk olahan kelapa sawit, mencapai 31,8 miliar dollar AS selama 2017. Sementara, impornya mencapai 9,88 miliar dollar AS.
Industri menengah
Dalam kesempatan yang sama, Adhi juga menyoroti perkembangan industri menengah atau intermediate. "Contohnya gula serta perisa dan pewarna makanan," ucapnya.
Industri perisa makanan di Indonesia berkisar tujuh sampai sepuluh pabrik yang semuanya terletak di Pulau Jawa. "Padahal, Indonesia berpotensi untuk membuat ekstraksi sendiri. Bahan baku di sini, khususnya rempah-rempah, berlimpah," kata Adhi.
Sebagai ilustrasi, Adhi memaparkan, Indonesia merupakan negara pengekspor cengkih terbesar. 60 persen cengkih yang digunakan industri perisa secara global berasal dari Indonesia.(DD09)