JAKARTA, KOMPAS — Harga sejumlah jenis beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, berangsur turun beberapa hari terakhir seiring meningkatnya pasokan dari daerah sentra. Harga diperkirakan bakal terus turun sejalan dengan meluasnya area panen musim rendeng serta kedatangan beras impor.
Dari 11 jenis beras yang dipantau di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), harga sembilan jenis di antaranya tercatat turun dalam kurun empat hari hingga Selasa (30/1). Penurunan harga terjadi di kisaran 0,36-4,21 persen. Mayoritas di antaranya adalah beras medium yang selama ini mendominasi perdagangan. Sementara harga dua jenis beras lain, yakni Cianjur Slyp dan Cianjur Kepala, tercatat naik.
Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi mengatakan, penurunan harga beras sejalan dengan turunnya harga gabah di tingkat petani serta dimulainya panen musim rendeng. Pasokan antara lain dari wilayah Kudus, Demak, Pati, dan Cepu di Jawa Tengah serta Bojonegoro, Jawa Timur. ”Ke depan akan ada dari Sragen dan Karanganyar,” ujarnya.
Namun, stok beras PIBC masih di bawah kondisi aman, yakni 30.000 ton. Stok akhir pada Senin (29/1), misalnya, tercatat 24.472 ton. Angka ini jauh lebih rendah daripada stok 1 Januari 2018 yang mencapai 35.392 ton dan merupakan posisi stok terendah dalam tiga tahun terakhir.
Meskipun harga cenderung turun beberapa hari terakhir, penurunan juga masih relatif kecil. Penurunan terbesar terjadi pada beras jenis medium, antara lain IR 64-III yang turun dari Rp 8.900 per kilogram (kg) menjadi Rp 8.525 per kg (4,21 persen), IR 64-II sebesar 4,14 persen, IR 42 sebesar 3,37 persen, dan IR 64-I sebesar 3,35 persen. Sementara beras jenis premium turun lebih kecil, seperti Setra yang turun 0,36 persen dan Saigon yang turun 0,75 persen.
Situasi serupa terjadi di Pasar Induk Beras Johar Karawang, Jawa Barat. Menurut Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Beras Johar Karawang Sri Narbito, rata-rata pasokan beras ke Pasar Johar Karawang meningkat dari 400-500 ton per hari pada Desember 2017 menjadi sekitar 700 ton per hari pada beberapa hari terakhir. Namun, jumlah itu masih di bawah normal yang mencapai 1.000 ton per hari.
Harga beras pun turun sejalan dengan peningkatan pasokan. Narbito mencontohkan, harga beras medium asal Demak turun dari Rp 11.700 per kg menjadi Rp 11.000 per kg. Namun, harga beberapa jenis beras premium di pasar induk itu masih bertahan pada angka Rp 12.800 per kg.
Beras impor
Penurunan harga beras diperkirakan bakal lebih signifikan seiring dimulainya panen raya pada pertengahan Maret 2018 serta kedatangan beras impor di sejumlah pelabuhan di Indonesia. Harga diperkirakan bisa menyentuh atau bahkan lebih rendah daripada harga eceran tertinggi karena pasokan diyakini bakal melimpah pada puncak panen.
Direktur Pengadaan Perum Bulog Andrianto Wahyu Adi menambahkan, beras impor pertama sebanyak 26.000 ton dijadwalkan tiba di Indonesia pada 11 Februari 2018. Beras yang berasal dari Vietnam dan Thailand itu akan diarahkan untuk dibongkar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, serta Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung, Lampung. Angka ini sebagian dari 261.000 ton yang bakal diimpor Perum Bulog.
Delapan perusahaan dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan India memenangi lelang pengadaan beras oleh Perum Bulog dengan total 346.000 ton. Akan tetapi, pemenang asal Pakistan dan India dengan total kuota 85.000 ton menyatakan kesulitan jika harus tiba di Indonesia selambatnya pada 28 Februari 2018. Sebab, mereka harus menempuh pelayaran 14-16 hari di luar proses pengumpulan dan pengapalan.
Menurut Andrianto, perusahaan asal Pakistan dan India kesulitan memenuhi target waktu itu karena terpotong libur Imlek serta transit di Port Klang dan Singapura. Dengan kondisi itu, Perum Bulog pun mengoptimalkan kedatangan 261.000 ton beras di Indonesia hingga akhir Februari 2018. Dengan demikian, diharapkan impor tidak mengganggu harga gabah di tingkat petani pada panen raya musim rendeng. Panen raya diperkirakan terjadi Maret-April 2018.
Sejumlah kalangan mengkhawatirkan dampak penurunan harga gabah di tingkat petani. Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa, anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Khudori, dan Direktur Pusat Kajian Strategis Kebijakan Pertanian IPB Dodik R Nurrochmat mengingatkan pemerintah untuk memastikan adanya perlindungan bagi petani.
Harga pembelian pemerintah yang berlaku sejak tahun 2015 dinilai sudah tidak relevan karena ongkos produksi lebih tinggi. Sementara kapasitas Perum Bulog dianggap tidak cukup besar untuk menyerap sekaligus mengamankan harga di tingkat petani. (MKN)