Perkuat Peran Pemerintah Dalam Pemenuhan Perumahan
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran pemerintah untuk mengurai dan mengatasi persoalan kekurangan rumah perlu ditingkatkan. Selama ini, penyediaan rumah mengandalkan masyarakat dan dunia usaha.
Data Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan, peran pemerintah dalam mengurangi kekurangan rumah atau backlog rumah hanya 6 persen hingga 2017. Selebihnya, mengandalkan masyarakat dan swasta atau dunia usaha.
Pemerintah memang menggulirkan program satu juta rumah sebagai solusi mengatasi kekurangan rumah. Namun, pengadaan rumah untuk nonmasyarakat berpenghasilan rendah diserahkan kepada masyarakat dan pengembang, berupa rumah tapak dan rumah susun komersial.
Panangian Simanungkalit, dari Panangian School of Property, berpendapat, pemerintah perlu mengintervensi pasar perumahan. Di negara tetangga, seperti di Singapura dan Malaysia, harga lahan di kota juga mahal. Namun, pemerintahnya membuat kebijakan menyediakan rumah susun sewa sebanyak mungkin di kota agar masyarakat bisa tinggal di kota. Sebab, jika masyarakat, terutama pekerja formal, bisa tinggal di kota, akan lebih efisien.
”Memang harus pemerintah yang mengintervensi pasar. Kalau tidak, kaum usia produktif tak akan bisa menjangkau harga rumah yang semakin tinggi,” kata Panangian di Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Pembangunan rumah susun dengan konsep hunian terintegrasi moda transportasi massal (TOD) dinilai sebagai solusi masa depan perumahan bagi generasi milenial. Pembangunan infrastruktur transportasi juga dimanfaatkan pengembang untuk membangun proyek-proyek apartemen yang dekat dengan moda transportasi massal.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, secara umum 15-40 persen pengeluaran keluarga di Indonesia untuk transportasi. Semakin miskin sebuah keluarga, semakin besar persentase belanja transportasinya.
MTI pernah mengkaji, TOD yang didesain dengan memasukkan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah dan kawasan ritel, sehingga penghuninya bisa bekerja dan berbelanja, pengeluaran transportasi akan berkurang setidaknya 10 persen. ”Bagi masyarakat miskin, angka ini signifikan,” ujarnya.
Vertikal
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi menjelaskan, di kota-kota besar, hunian vertikal menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bertipe 36 meter persegi atau 45 m persegi sudah cukup. Bagi segmen menengah ke atas dapat diarahkan ke rumah susun sederhana milik (rusunami).
”Syaratnya, pemerintah harus memiliki bank tanah sehingga harga jual atau sewanya bisa terjangkau,” kata Khalawi.
Untuk rusunami, lanjut Khalawi, pemerintah menyiapkan konsep kerja sama dengan badan usaha atau pihak swasta melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Konsepnya, tanahnya milik swasta, sedangkan hunian dibangun BUMN. Saat ini sudah ada pengembang China, Jepang, dan Arab Saudi, yang berminat membangun hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Konsep lain adalah swasta membangun hunian, sedangkan pemerintah mendukung infrastrukturnya.
Pemerintah masih menjajaki kemungkinan untuk menerapkan kedua konsep tersebut.
Terkait dengan wacana sewa-beli yang pernah muncul beberapa waktu lalu, menurut Khalawi, secara konsep bagus. Sebab, masyarakat berpenghasilan rendah mendapat kepastian untuk memiliki hunian berupa rusun. Namun, hal itu tidak bisa serta- merta diterapkan. Sebab, pemerintah mempertimbangkan kemungkinan peningkatan arus urbanisasi karena ada kemudahan memperoleh hunian.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, pada 2017, seluruh pengembang yang tergabung di REI membangun 206.290 unit rumah bersubsidi dan 170.000-an rumah nonsubsidi di Indonesia.
Menurut Soelaeman, kebutuhan golongan menengah ke bawah, namun tidak termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, besar. ”Permintaan di segmen ini banyak sekali dengan harga Rp 250 juta-Rp 600 juta per unit. Konsumen membutuhkan rumah pertama. Ada juga kebutuhan rumah berstandar bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi nonsubsidi,” katanya. (LKT/ARN/NAD)