JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran generasi milenial untuk memiliki hunian dinilai sudah cukup tinggi. Oleh karena itu, generasi usia produktif perlu mengambil keputusan untuk segera membeli hunian, pada saat harga rumah masih terjangkau.
Survei Property Affordability Sentiment Index semester I-2018 yang dilakukan Rumah.com bekerja sama dengan lembaga riset Intuit Research Singapura periode Juli-Desember 2017 terhadap 1.020 responden menunjukkan, kesadaran generasi milenial untuk memiliki hunian sendiri sudah cukup tinggi. Survei yang dikutip Kompas, Kamis (1/2), juga menunjukkan, kelompok usia yang sudah telanjur memiliki banyak tanggungan cenderung berpikir dua kali untuk mengambil kredit rumah.
”Generasi milenial harus secepatnya mengambil keputusan untuk membeli hunian. Semakin muda usia saat membeli rumah, akan semakin baik. Belilah rumah pada saat belum banyak tanggungan,” ujar Marine Novita, Country Manager Rumah.com, dalam siaran pers.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 176,8 juta penduduk usia produktif pada 2017 di Indonesia atau sekitar 67 persen dari 261,8 juta penduduk. Dari jumlah itu, sekitar 80 juta orang di antaranya adalah generasi milenial yang lahir pada 1980-1999.
Dari responden survei yang optimistis membeli rumah, sebanyak 44 persen dari kelompok usia 21-29 tahun atau milenial muda. Sementara 35 persen lainnya dari milenial berusia lebih tua, yakni usia 30-39 tahun.
Bagi generasi milenial, harga hunian, termasuk uang muka, menjadi kendala. Namun, pemerintah menurunkan uang muka hingga menjadi 15 persen untuk pembelian rumah pertama.
Setiap bulan, sedikitnya ada 5,5 juta pencari properti melalui kanal Rumah.com. Generasi milenial dapat menggunakan fitur data dan informasi sebagai panduan untuk mencari rumah. Di samping itu, bisa melihat simulasi pembiayaan ideal yang didasarkan pada penghasilan.
Rumah murah
Hunian untuk segmen menengah ke bawah masih akan mendominasi permintaan pasar properti. Selain permintaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah masih akan terus ada, hunian nonsubsidi dengan harga ratusan juta juga banyak diminati.
”Saya mendeteksi, rumah untuk segmen menengah ke bawah ini permintaannya banyak sekali. Sebenarnya, baik pasar rumah subsidi maupun komersial ini jalan sendiri-sendiri. Kalau permintaan rumah bersubsidi banyak sekali,” kata Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, di Jakarta, kemarin.
Hunian nonsubsidi untuk segmen menengah ke bawah atau rumah murah banyak dicari, menurut Soelaeman, adalah yang seharga Rp 250 juta-Rp 600 juta per unit. Selain itu, ada juga permintaan untuk rumah dengan spesifikasi rumah bersubsidi seperti tipe 36 meter persegi atau 22 persegi, tetapi dijual tidak sebagai rumah bersubsidi.
Pembeli untuk hunian tersebut adalah orang-orang yang tidak termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga tidak terlalu tinggi. Mereka adalah masyarakat yang memerlukan rumah pertama atau untuk dihuni.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, harga rumah di Jabodetabek rata-rata naik 20 persen per tahun. Kenaikan harga rumah ini melampaui kenaikan gaji yang rata-rata 10 persen per tahun.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah berpendapat, kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Namun, ia khawatir harga rumah pada suatu saat tidak terjangkau lagi. Sebab, kenaikan upah masyarakat tidak dapat mengimbangi kenaikan harga rumah dan harga tanah. (LKT/NAD)