JAKARTA, KOMPAS — Kendati potensi dan sumber daya energi terbarukan di Indonesia besar, pengembangan sektor ini cukup kompleks. Penyebab pengembangan energi terbarukan tak optimal, antara lain, terkait masalah sosial, pembebasan lahan, pendanaan, serta soal perpajakan.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar saat menyampaikan orasi ilmiah di Universitas Pertamina, Jakarta, Kamis (1/2), mengatakan, belum tentu semua potensi dan sumber daya energi terbarukan di Indonesia dapat dimanfaatkan.
Ia membandingkan pemanfaatan tenaga surya di Indonesia dengan di Uni Emirat Arab (UEA). Harga jual-beli tenaga listrik tenaga surya di UAE kurang dari 3 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). ”Di sana (UEA), pembebasan lahan gratis. Ada insentif perpajakan. Bunga pinjaman bank rendah. Di sini, tidak ada pembebasan lahan gratis dan bunga pinjaman bank lebih tinggi. Kompleks sekali pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ujar Arcandra.
Secara terpisah, terkait upaya penyediaan energi listrik yang terjangkau, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir menjamin tarif listrik tidak akan naik, selama harga batubara dapat dikendalikan. Saat ini, kata Sofyan, harga batubara naik dari 60 dollar AS per ton hingga mendekati 100 dollar AS per ton. Di sisi lain, 60 persen pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batubara. ”Solusinya, harga batubara harus kembali ke harga semula. Batubara itu punya negara, pasti akan mengamankan tarif listrik untuk rakyat,” kata Sofyan Basir setelah bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis. (APO/NDY)