JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah mengkaji aturan yang mewajibkan pembayar pajak mengungkapkan strategi perencanaan pajaknya. Hal ini diharapkan dapat memberi kepastian kepada wajib pajak, sekaligus menekan praktik perencanaan pajak yang agresif.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) John Hutagaol menjelaskan hal itu di Jakarta, Kamis (1/2). Perencanaan pajak adalah hal yang lazim dilakukan korporasi dan orang super kaya. Masalahnya, banyak perusahaan multinasional dan orang super kaya membuat strategi perencanaan pajak secara agresif (tidak wajar) dengan tujuan terbebas dari pembayaran pajak. Kalaupun membayar, nilainya dibuat sekecil mungkin.
Caranya, dengan mengeksploitasi ketentuan pajak yang belum harmonis antaryurisdiksi. Praktik ini merugikan negara dan perekonomian. Mengacu laporan OECD, potensi pendapatan negara yang hilang akibat tindakan itu diperkirakan mencapai 100- 240 miliar dollar AS per tahun atau 4-10 persen dari pajak penghasilan semua korporasi secara global.
Dampaknya jauh lebih terasa bagi negara berkembang. Sebab, porsi pajak penghasilan korporasi dalam struktur pajak di negara berkembang umumnya besar.
Untuk itu, G-20 dan OECD pada 2013 menyusun 15 rencana aksi yang disusun sebagai proyek untuk memerangi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Aksi ke-12 adalah tentang ketentuan yang mewajibkan pajak wajib untuk mengungkapkan strategi perencanaan pajak atau dikenal dengan istilah mandatory disclosure rule (MDR).
”Best practice-nya, wajib pajak dan promotornya masing-masing melaporkan ke otoritas pajak. Selanjutnya, otoritas pajak akan melakukan penelitian dan memutuskan, apakah skema tersebut boleh atau tidak boleh. Perlu diketahui, ini masih dalam tahap pengkajian, belum menjadi prioritas,” kata John.
Promotor dimaksud adalah konsultan pajak, pengacara, akuntan publik, pengacara, perbankan, atau akademisi yang memberi saran. Salah satu parameter untuk menentukan perencanaan dikategorikan wajar atau tidak wajar adalah besar-kecilnya selisih nilai pajak yang tidak dibayarkan.
Sementara itu, pada rapat koordinasi penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) 2019 Kementerian Perhubungan di Jakarta, Kamis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkritik penyerapan anggaran di Kementerian Perhubungan. Pasalnya, selama 10 tahun terakhir, penyerapan anggaran tidak pernah mencapai 90 persen. Padahal, setiap tahun jumlah anggaran telah ditambah cukup besar. ”Saya mempertanyakan sampai sejauh mana kapasitas kementerian untuk membelanjakan anggaran yang sudah disiapkan,” kata Sri Mulyani.
Ia mencatat, anggaran Kementerian Perhubungan pada 2010 hanya Rp 17,8 triliun. Pada 2018, anggaran Kemenhub Rp 48,2 triliun. Anggaran kementerian ini pernah mencapai Rp 65 triliun pada 2015, tetapi yang bisa dibelanjakan hanya Rp 47 triliun.
”Sejak tahun 2009 hingga 2018 penyerapan hanya 87 persen, bahkan sempat drop ke 72 persen. Karena itu harus dipertanyakan soal kapasitas Kemenhub untuk belanja secara baik. Saya belum bicara soal kualitas belanja,” ujarnya.
Ia mengingatkan, kenaikan belanja rutin berupa gaji pegawai adalah hal baik. Namun, belanja barang harus diperhatikan dengan saksama. (LAS/ARN)