Harga batubara akan dimasukkan sebagai komponen penentuan tarif listrik. Alasannya, harga batubara terus meningkat hingga mendekati 100 dollar AS per ton.
Selama ini, harga batubara tidak masuk dalam komponen pembentuk tarif listrik bagi pelanggan. Tarif listrik ditentukan oleh tiga komponen, yaitu jual harga minyak Indonesia (ICP), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan inflasi. Padahal, porsi batubara dalam bauran energi pembangkit yang dioperasikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebesar 57 persen, sedangkan bahan bakar minyak hanya 5,8 persen.
”Rencana itu sangat rasional, sebab penggunaan batubara mencapai hampir 60 persen dalam bauran energi pembangkit milik PLN. Dengan dominannya pemakaian batubara yang sumbernya melimpah di dalam negeri, seharusnya struktur biaya pokok penyediaan listrik bisa lebih efisien dan murah,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Jumat (2/2), di Jakarta.
Tulus menambahkan, sebaiknya komponen ICP dikeluarkan dari struktur pembentuk tarif listrik, kemudian digantikan dengan komponen harga batubara. Namun, ia menggarisbawahi, acuan harga batubara di Indonesia sebaiknya tidak memakai indeks pasar internasional. Sebab, Indonesia termasuk salah satu negara pengekspor batubara dalam jumlah besar di dunia.
Dalam laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah tengah mengkaji formula baru penentuan tarif listrik. Harga batubara akan dimasukkan ke dalam formula baru tersebut sebagai dasar penentuan tarif listrik. Saat ini, pemerintah masih mematangkan kajian pembentukan formula baru tersebut.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, produksi batubara sepanjang 2017 sebanyak 461 juta ton. Adapun serapan batubara di dalam negeri hanya 97 juta ton, sedangkan sisanya diekspor. Sejumlah negara tujuan ekspor batubara Indonesia adalah China, Korea Selatan, dan Jepang.
”Kalau masih memakai acuan pasar internasional yang berdampak pada kenaikan tarif listrik (seiring dengan tren harga batubara yang naik), kebijakan itu akan sia-sia belaka,” ujar Tulus.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kamis (1/2), Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir mengatakan, PLN ada di dalam situasi yang sulit di tengah kenaikan harga batubara. Sebab, kenaikan harga batubara tersebut bersamaan dengan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik. Oleh karena itu, tambah Sofyan, pihaknya berharap ada pengendalian harga batubara di dalam negeri.
”Solusinya, harga batubara harus kembali ke harga semula (sekitar 60 dollar AS per ton sebelum naik menjadi 100 dollar AS per ton). Batubara itu milik negara, pasti akan mengamankan tarif listrik untuk rakyat,” kata Sofyan.
Kurang tepat
Terkait rencana pemerintah memasukkan harga batubara ke dalam komponen tarif listrik, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, rencana itu kurang tepat. Pasalnya, harga batubara—yang dibeli PLN melalui kontrak jangka panjang dengan produsen di dalam negeri—tidak bisa berubah sewaktu-waktu.
”PLN seharusnya dapat mengelola risiko harga batubara lewat perjanjian kontrak dengan perusahaan tambang batubara. Batubara yang dibeli PLN tidak melalui pasar spot (tunai), tetapi lewat kontrak jangka panjang,” ujar Fabby.
PLN juga pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk memiliki konsesi tambang batubara di dalam negeri. Selain untuk mengamankan pasokan bagi kebutuhan pembangkit PLN, ongkos yang dikeluarkan PLN diyakini lebih rendah ketimbang membeli kepada produsen batubara. Namun, sampai kini belum ada kejelasan tentang rencana itu.
Pada awal 2018, Pemerintah memutuskan tarif listrik nonsubsidi tidak berubah, yakni tetap Rp 1.467,28 per kilowatt-jam (kWh). Tarif listrik itu akan berlaku setidaknya sampai dengan Maret 2018. Tarif listrik akan dievaluasi lagi pada periode April-Juni 2018. (APO)