Bisnis, Sosial, dan Investasi Jangka Panjang
Bisnis kelapa sawit menjadi salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia. Selain batubara, kelapa sawit juga merupakan produk unggulan Indonesia yang bisa bersaing di tingkat global.
PT Astra Agro Lestari Tbk yang memproduksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) mengombinasikan bisnis dengan kepedulian sosial. Mereka mengusung slogan prosper with the nation, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) akan sejahtera bersama bangsanya.
Terkait bisnis itu, Presiden Direktur AAL Santosa memberikan penjelasan dalam sebuah wawancara dengan Kompas pada 24 Januari 2018 di Kota Batu, Jawa Timur. Berikut wawancaranya.
Bagaimana kondisi bisnis PT AAL?
Kami memproduksi CPO sekitar 1,6 juta ton setahun dengan 50 persen berasal dari kelapa sawit milik petani plasma dan masyarakat sekitar kebun.
Keterlibatan petani dalam mendukung bisnis kelapa sawit PT AAL cukup signifikan?
Tentu saja. Sebab, 50 persen CPO kami dihasilkan dari sawit milik petani plasma dan masyarakat sekitar. Lahan kami 230.000 hektar (ha), sedangkan lahan petani plasma 60.000 ha. Untuk mendukung bisnis, ke depan kami akan menghormati moratorium terkait kelapa sawit sehingga kami merasa jumlah lahan cukup. Kami akan mengikuti program kemitraan pemerintah, baik peremajaan maupun pembinaan teknis. Ini akan menjadi pengembangan bisnis dan berkontribusi terhadap ekonomi nasional. Lahan bukan punya kita sendiri.
Model kemitraan apa yang menjadi pilihan PT AAL?
Ke depan, kalau kebun sendiri tidak berkembang, kami ingin mengembangkan dan membina petani sekitar. Baik dari sisi pendanaan, penanaman, peremajaan, dan operasional. Maka, tahun lalu kami menyelesaikan dua pabrik pupuk untuk mendukung keperluan sendiri dan petani binaan.
Selain terkait bisnis, apa yang diberikan PT AAL untuk masyarakat sekitar?
Kami selalu menganggap masyarakat adalah mitra kami. Buktinya, 50 persen dari hasil CPO kami berasal dari kelapa sawit produksi masyarakat. Karena itu, kami selalu berpikir tidak bisa hidup sendiri tanpa memikirkan masyarakat. Kami bantu masyarakat dengan membangun fasilitas penunjang kebutuhan masyarakat, seperti membangun fasilitas kesehatan yang lebih baik.
Bagaimana uji coba bisnis baru PT AAL yang dilakukan tahun lalu?
Tahun lalu kami uji coba 8.000 ekor sapi untuk penggemukan dan pembibitan di Kalimantan. Pembibitan dan penggemukan sapi dilakukan di kebun kelapa sawit. Kami diminta mengintegrasikan sapi dengan kelapa sawit untuk mendukung program kedaulatan pangan. Saat itu, harga daging sangat mahal. Karena ini bisnis baru, kami coba dulu, apakah integrasi ini berhasil tidak.
Kalau kami hanya impor sapi dan dijual di sini, banyak orang bisa lakukan. Maka, saya lebih fokus agar kami bisa lakukan pembibitan sehingga bisa memiliki kompetensi pembibitan sapi di dalam negeri.
Bagaimana alokasi dana untuk kegiatan uji coba ternak sapi ini?
Pada 2016, kami alokasikan Rp 100 miliar, lalu naik menjadi Rp 120 miliar, dan tahun ini kami alokasikan Rp 150 miliar. Setiap tahun, pengeluaran kami Rp 2 triliun sehingga dana tersebut tidak sampai 10 persen. Semua sudah kami perhitungkan. Kami sudah menghitung risiko. Harus berani investasikan sebagian untuk masa depan. Toh, bukan dibuang, tetapi memang digunakan untuk membangun sesuatu seperti fasilitas pembibitan. Selain itu, juga digunakan untuk mengembangkan kompetensi membangun laboratorium. Kalau tidak ambil risiko seperti ini, ya, tidak akan bisa jalan. Tidak ada yang baru, dan usaha akan mati.
Bagaimana sumber daya untuk mengurusi bisnis baru PT AAL?
Dahulu, kami rekrut sarjana pertanian dan menyekolahkan mereka hingga S-1 dan S-2 untuk mengurus kelapa sawit. Kini, kami rekrut sarjana peternakan, dokter hewan, ahli pembiakan, ahli pakan ternak, dan sebagainya.
Penggemukan dan pembibitan sapi sudah dimulai tahun lalu. Bagaimana progresnya?
Bisnis baru ini hanya butuh waktu. Bisnis itu punya sasaran jangka menengah dan panjang. Sasaran jangka menengah kami, misalnya kemitraan dan pengolahan kelapa sawit. Adapun target jangka panjang adalah kedaulatan pangan. Itu harus dimulai sekarang juga.
Saat ini, bisnis penggemukan dan pembibitan sapi belum kelihatan hasilnya. Namun, kami melihat masih ada lagi yang bisa diintegrasikan antara ternak sapi dan ampas kelapa sawit. Tahun 2018, kami ingin bibit menjadi 10.000 ekor. Harapannya, sapi akan terjual 1.000 ekor per bulan. Kalau stabil, kami punya 10.000 ekor sapi di luar impor. Januari ini, akan masuk lagi 2.000 ekor sapi. Total akan ada 10.000 ekor sapi.
Apa yang akan membedakan PT AAL dengan perusahaan penjualan sapi lainnya?
Yang impor sapi banyak. Namun, mereka rata-rata tidak punya komitmen melakukan pembibitan. Kami sejak awal berkomitmen membibitkan sapi. Kalau bukan AAL yang melakukannya, siapa lagi? Mudah-mudahan, kami bisa kontribusi bagi kedaulatan daging nasional. (DAHLIA IRAWATI)