JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta tegas terhadap penyedia aplikasi transportasi dan tidak terjebak pada isu penyerapan tenaga kerja yang selalu digembar-gemborkan.
Pasalnya, walaupun aplikator itu menyediakan lapangan kerja, pada praktiknya melanggar keselamatan transportasi dan ketenagakerjaan.
”Yang harus dipahami, aplikasi hanya berfungsi sebagai pendukung. Yang utama adalah sarana transportasinya. Tanpa sarana transportasi, aplikasi tidak bisa memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Namun, tanpa aplikasi, sarana transportasi masih tetap bisa memindahkan orang atau barang,” kata pengamat transportasi Djoko Setijowarno, Senin (5/2) di Jakarta.
Pemerintah jangan terlalu lama membiarkan perusahaan aplikator merusak sistem transportasi yang ada. Bagi yang tidak mau mendaftar, aplikator harus diminta segera menutup aplikasinya.
Jika masih ada aplikator yang memberi layanan aplikasi ke taksi aplikasi yang tidak terdaftar, sudah semestinya aplikator tersebut juga harus ditutup.
”Jangan karena berbasis teknologi yang lagi tren dapat menghilangkan logika rasional. Fungsi pemerintah masih tetap penting, apalagi di negara yang masyarakatnya majemuk seperti Indonesia,” kata Djoko.
Sementara Wakil Sekjen Bidang Kebijakan Publik Jaringan Aktivis Prodemokrasi (Prodem) Dedi Hardianto menyoroti layanan berbagi kendaraan (ride sharing) berbasis teknologi aplikasi yang tidak patuh terhadap aturan-aturan dari pemerintah.
Djoko menambahkan, beberapa pebisnis taksi reguler sudah mulai tutup. Artinya, hal itu akan menyebabkan bertambahnya jumlah penganggur.
Walau pengemudinya beralih ke taksi aplikasi, tidak menjamin keberlangsungan usahanya. Banyak pebisnis taksi aplikasi gulung tikar setelah satu tahun karena kredit macet kendaraan tidak sanggup membayar cicilan bulanan.
”Tarif yang murah ternyata tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan hidup keluarga, operasional dan perawatan rutin kendaraan, pajak kendaraan, serta membayar angsuran mobil bulanan,” kata Djoko.
Demikian pula pemberian SIM A Umum tidak harus kolektif. Kepolisian harus benar-benar dapat memastikan penerima SIM A Umum adalah benar-benar yang memiliki kompetensi mengemudikan kendaraan umum penumpang.
Sangat membahayakan keselamatan penumpang jika sang pengemudi tidak memiliki kompetensi mengemudi kendaraan umum penumpang.
”Lebih baik sekarang pemerintah berupaya keras mewujudkan terselenggaranya sistem transportasi umum massal yang bertarif murah. Semestinya tim intelijen ekonomi BIN bisa mendalami keberadaan aplikator. Akan sangat berbahaya sekali jika sampai mereka sudah bisa mengendalikan pangsa pasar transportasi sebagai urat nadi ekonomi. Negara harus hadir memberikan layanan transportasi umum yang murah,” kata Djoko.