JAKARTA, KOMPAS — Pembenahan tata kelola garam untuk mencapai swasembada garam nasional membutuhkan proses. Impor garam industri dinilai menjadi solusi jangka pendek untuk mencukupi kebutuhan industri.
Namun, rantai importir tengkulak wajib diputus untuk melindungi petambak garam rakyat. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman Agung Kuswandono menjelaskan, masalah utama tata kelola garam adalah tengkulak yang mempermainkan harga. Dalam impor garam, muncul importir yang berperan sebagai tengkulak.
Agung meminta agar kementerian terkait tidak memberikan kuota impor garam kepada industri yang tidak memakai dan mengolah garam. ”Ada perusahaan yang menerima kuota impor (garam), tetapi tidak punya industri. Ini berarti, importir itu hanya tengkulak,” kata Agung, akhir pekan lalu, dalam diskusi grup terarah bertema ”Regulasi dalam Melindungi Usaha Garam Nasional” di Jakarta.
Ia menambahkan, muncul indikasi kuota impor garam industri diterbitkan ke perusahaan yang tidak memiliki pabrik pengolahan garam. Akibatnya, garam impor itu hanya dikemas oleh importir untuk dijual kembali dan berpotensi merembes ke masyarakat. Ini membuat garam menjadi berlimpah dan harga garam petambak anjlok.
Kementerian seharusnya bisa dengan mudah mengecek keberadaan importir tengkulak. ”Bisa dilihat profil importirnya. Ada atau tidak industrinya bisa dilacak dengan mudah. Kalau importir tidak punya industri dan hanya punya gudang, jangan diberi (izin) impor. Impor oleh perusahaan tengkulak ini yang memicu garam impor rembes ke masyarakat. Ini yang bikin rusak,” kata Agung.
Sementara itu, tengkulak juga mengendalikan pasar pada saat panen garam rakyat. Sebagian besar garam hasil panen petambak tidak dibeli langsung oleh industri pengolahan garam atau pemerintah, tetapi dibeli tengkulak. Tengkulak lalu memasok garam itu ke industri atau pabrik pengolahan. Akibatnya, harga garam di petambak fluktuatif dan dipermainkan.
Pembenahan tata kelola garam nasional membutuhkan sinergi lintas kementerian, meliputi Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman untuk memutus rantai tengkulak dalam impor dan pemasaran hasil panen garam. Untuk itu, sanksi terhadap tengkulak juga harus tegas.
Agung menambahkan, kelemahan garam lokal adalah belum bisa memenuhi standar industri, seperti kadar NaCl dan impuritas yang mencakup kalsium, magnesium, dan sulfat. Sebagai contoh, sebagian garam rakyat memiliki kadar NaCl di bawah 90 persen, sedangkan kebutuhan bahan baku untuk garam industri minimal 97 persen.
Selain itu, spesifikasi kalsium dan magnesium garam lokal berkisar 0,1-0,5 persen, atau 10 kali lipat dari standar maksimal yang ditoleransi industri, yakni kalsium maksimal 0,02 persen dan magnesium 0,04 persen.
Sementara itu, ada sekitar 400 industri pengolahan yang membutuhkan garam dengan standar spesifikasi tertentu. Kualitas garam yang rendah akan mengganggu keberlanjutan industri pengolahan garam, terutama industri dengan produk ekspor.
Mutu produksi
Untuk itu, upaya memangkas rantai impor memerlukan keseriusan, terutama dalam pembenahan mutu produksi garam rakyat. Hal ini perlu dilakukan agar sesuai dengan standar garam industri. ”Standar garam rakyat harus dibenahi agar bisa diserap industri. Pola produksi juga harus dibenahi, seperti penataan lahan terintegrasi dan penggunaan teknologi,” ujarnya.
Pemerintah juga masih menghadapi pekerjaan rumah membereskan tata niaga garam dari segi pengaturan harga garam rakyat. Persoalan regulasi yang muncul adalah komoditas garam dihapuskan sebagai komoditas strategis.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Barat Edi Suwandi menyayangkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap petambak garam rakyat. Hal ini berakibat pada harga garam rakyat yang selama ini dipermainkan.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, komoditas garam tidak lagi dicantumkan sebagai barang penting dan kebutuhan pokok. Padahal, kebutuhan garam industri dan konsumsi sangat besar. Setiap tahun, total kebutuhan garam nasional mencapai 4,5 juta ton. ”Apa komitmen pemerintah untuk melindungi petambak garam?” ujarnya.
Agung mengemukakan, persoalan regulasi perlu segera dicari solusi, yakni melakukan revisi Perpres No 71/2015. Pengaturan harga garam harus dilandaskan ketentuan garam sebagai komoditas strategis. (LKT)