Ekspor merupakan lini penting penopang produk domestik bruto. Badan Pusat Statistik mencatat, dari PDB nasional yang mencapai Rp 13.588,8 triliun pada 2017, ekspor berkontribusi sebesar 20,37 persen atau Rp 2.768,03 triliun.
Tidak mengherankan jika Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Perdagangan memacu kinerja ekspor nasional. Salah satu yang disinggung Presiden pada rapat kerja Kemendag, akhir Januari lalu, adalah peran perwakilan perdagangan di luar negeri, atase perdagangan, dan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC).
”Bertahun-tahun kita memiliki ITPC, apa yang dilakukan? Apa mau kita terus teruskan? Kalau tidak ada manfaat, ya, saya tutup. Negara sudah keluar biaya untuk itu, negara keluar duit yang tidak kecil,” ujar Presiden pada kesempatan itu.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro juga meminta Kemendag merevisi target ekspor nonmigas. Apalagi, pada 2017 ekspor nonmigas tumbuh 16,22 persen. Akhirnya, Kemendag menaikkan target ekspor nonmigas tahun ini dari 5-7 persen menjadi 11 persen dari realisasi ekspor tahun lalu. Realisasi ekspor nonmigas pada 2017 sebesar 152,99 miliar dollar AS. Kalau tumbuh 11 persen, berarti realisasi ekspor nonmigas tahun ini akan sebesar 169,81 miliar dollar AS.
Untuk merealisasikan target ekspor tahun ini, Kemendag akan menggarap pasar-pasar ekspor baru, mengoptimalkan kinerja perwakilan perdagangan di luar negeri, dan menerapkan skema perdagangan timbal balik dengan menggandeng eksportir dan importir.
Evaluasi terhadap perwakilan perdagangan di luar negeri juga akan dilakukan secara terus-menerus. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, mereka akan jadi ujung tombak peningkatan ekspor Indonesia untuk menggarap pasar di negara-negara potensial. Kemendag berencana membuka kantor atase perdagangan di Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar. Kemendag juga telah merelokasi tiga kantor ITPC. Dua di antaranya adalah dari Lyon, Perancis, ke Istanbul, Turki, dan dari Kopenhagen, Denmark, ke Hanoi, Vietnam.
Kemendag juga berencana menyelesaikan 10 perjanjian perdagangan bilateral dan multilateral pada tahun ini hingga tahun depan. Beberapa di antaranya adalah dengan Uni Eropa, Australia, Iran, Pakistan, Turki, Sri Lanka, Maroko, Mozambik, Taiwan, Kemitraan Ekonomi Regional Komprehensif (RCEP), dan Eurasia Economic Union.
Kemendag juga akan menerapkan skema imbal beli untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan. Artinya, negara yang menjual produknya ke Indonesia diharuskan membeli produk Indonesia.
Cukupkah upaya-upaya itu di tengah serbuan produk impor melalui e-dagang dan industri berorientasi ekspor yang belum optimal?
Ekspor tidak cukup sekadar promosi, membuka pasar baru, dan menyelesaikan hambatan atau sengketa perdagangan. Ekspor juga menyangkut peningkatan daya saing industri dan produk, kemudahan berusaha, dan serta investasi.
Dibutuhkan keseriusan kementerian atau lembaga lain yang terkait. Kementerian Perindustrian, misalnya, perlu merealisasikan hilirisasi berbasis sumber daya alam dalam negeri secara berkelanjutan. Kementerian Koperasi dan UKM perlu menaikkan kelas UKM agar siap ekspor. Adapun Badan Koordinasi Penanaman Modal perlu mendorong investasi yang menopang kinerja ekspor.
Sama halnya dengan program pembangunan infrastruktur, ekspor nonmigas perlu menjadi program prioritas pemerintah. Tujuannya adalah mendatangkan devisa yang merupakan jaring pengaman utang luar negeri Indonesia. Bank Indonesia mencatat, utang luar negeri (ULN) Indonesia hingga akhir November 2017 sebesar 343 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.562 triliun (kurs Rp 13.300 per dollar AS). ULN tersebut tumbuh 9,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Tim lintas kementerian dan lembaga perlu dibentuk untuk duduk bersama menentukan strategi ekspor. Tentu tidak hanya berorientasi pada pembukaan pasar baru. Tentukan produk-produk unggulan berbasis sumber daya alam yang akan diekspor. Garap produk-produk unggulan secara lintas kementerian dan lembaga dengan melibatkan asosiasi-asosiasi terkait. (HENDRIYO WIDI)
