JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan sapi betina produktif masih terus berlangsung meski terlarang dan pengawasannya melibatkan Polri. Hal ini disebabkan desakan kebutuhan dan adanya peluang untung dari selisih harga.
Pemotongan sapi betina produktif dilarang oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Penyembelihan ternak ruminansia betina produktif dilarang, kecuali untuk kepentingan penelitian, pemuliaan, pengendalian dan penanggulangan penyakit, pengakhiran penderitaan hewan, serta terkait ketentuan adat dan agama. Sanksi pelanggaran ini adalah kurungan penjara 1 bulan-3 tahun serta denda Rp 1 juta-Rp 300 juta.
Namun, ketentuan itu sering diabaikan karena alasan tekanan kebutuhan hidup. Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung, Rochadi Tawaf, Jumat (9/2), berpendapat, faktor ekonomi menjadi motivasi utama, termasuk oleh jagal di rumah pemotongan hewan. ”Karena butuh dan ada permintaan, mereka akhirnya memotong juga meski terlarang,” ujarnya.
Bagi jagal, memotong sapi betina lebih menguntungkan daripada sapi jantan sebab mereka mendapat jeroan dalam volume yang lebih besar. Jeroan biasanya menjadi sumber pendapatan sampingan jagal. Pedagang juga lebih untung karena harga beli sapi betina hidup lebih murah daripada sapi jantan, sedangkan harga jual dagingnya sama.
Faktor lain biasanya terjadi di daerah sentra sapi, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), karena mayoritas pejantan dikirim ke luar daerah untuk memenuhi permintaan. Kebutuhan daging setempat terkadang justru kurang sehingga mendorong pemotongan sapi betina produktif.
Berdasarkan penelitiannya tahun 2013, kata Rochadi, pemotongan sapi betina produktif diperkirakan mencapai 1 juta ekor atau 30,8 persen dari total sapi yang dipotong. Penelitian lain pada 2015 menunjukkan, pemotongan sapi betina produktif di Nusa Tenggara Timur mencapai 90 persen, Nusa Tenggara Barat 32 persen, Makassar 72 persen, dan Denpasar 90 persen.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita seusai peluncuran ekspor perdana sapi wagyu ke Myanmar di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (7/2), menyatakan, pemerintah terus memperketat pengawasan dan pencegahan pemotongan sapi betina produktif. Pihaknya bahkan menggandeng Badan Pemelihara Keamanan Polri untuk membantu pengawasan. Sebab, pemotongan sapi betina tergolong pelanggaran pidana. Hasilnya, rencana pemotongan 16.517 sapi betina produktif berhasil dicegah sepanjang 2017. (MKN)