Serapan Domestik Rendah
JAKARTA, KOMPAS — Petani mengakui harga karet mulai naik kendati belum signifikan. Serapan karet yang terbatas di dalam negeri dikeluhkan. Sebab, keterbatasan serapan di pasar domestik itu membuat stok karet petani menumpuk sehingga dibeli dengan harga rendah.
Pengurangan ekspor karet alam pada awal tahun ini meningkatkan harga karet petani dari Rp 4.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 6.500 per kg. Namun, kebijakan Dewan Tripartit Karet Internasional (ITRC) itu masih belum berdampak signifikan.
Saat ini, stok karet petani melimpah. Sebab, hanya sekitar 50 persen dari stok petani yang diserap pasar dalam negeri.
”Pedagang dan pengepul memanfaatkan hal itu dan mempermainkan harga karet di pasar. Mereka membeli karet petani dengan harga rendah berkisar Rp 4.500-Rp 5.000 per kg. Alasannya, mereka harus membayar tenaga kerja dan sewa gudang,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo) Lukman Zakaria kepada Kompas, Minggu (11/2).
Menurut Lukman, pedagang dan pengepul karet memiliki stok karet di gudang yang bisa dijual setiap saat ketika harga karet dunia membaik. Adapun petani, lanjut Lukman, selama ini mengandalkan jaminan harga karet dari pemerintah melalui sistem resi gudang. Namun, pengelolaannya diserahkan kepada para pedagang dan pengepul sehingga harga belinya rendah.
”Janji pemerintah memanfaatkan karet untuk campuran aspal jalan, bantalan kapal, bendung karet, dan bantalan pintu irigasi masih minim realisasinya. Inovasi pengolahan karet di hulu dan hilir juga sama sekali tidak maksimal,” ujarnya.
Pada April 2015, pemerintah berkomitmen menggunakan karet alam dan produk berbasis karet alam dalam pembangunan infrastruktur nasional. Target serapannya 100.000 ton sehingga menambah serapan karet nasional dari 600.000 ton menjadi 700.000 ton.
Untuk keperluan itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan dapat menyerap karet alam dan produk karet alam 60.000-80.000 ton. Sementara Kementerian Perhubungan akan menyerap 20.000 ton yang terdiri dari 15.000 ton untuk sarana kenavigasian dan 5.000 ton untuk bantalan kereta api (Kompas, 10 April 2015).
”Kalau memang serapan itu sudah terealisasi, petani pasti bisa merasakan manfaatnya. Harga karet akan semakin tinggi karena nilai guna karet bertambah,” kata Lukman.
Sebelumnya, Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang tergabung dalam ITRC kembali menerapkan skema membatasi suplai karet alam ke pasar global melalui pengurangan ekspor atau Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). Ekspor karet alam Indonesia dikurangi 95.190 ton, Malaysia 20.000 ton, dan Thailand 234.810 ton. Tujuannya, mengurangi pasokan karet global sehingga akan meningkatkan harga karet alam global dan berdampak pada kenaikan harga karet di tingkat petani.
Penguatan industri
Cadangan karet sejumlah negara pengimpor karet pada akhir 2017 meningkat. Shanghai Futures Exchange melaporkan, cadangan karet di China naik 2,6 persen menjadi 415.415 ton. Adapun Asosiasi Perdagangan Karet Jepang menyebutkan, stok karet Jepang naik 14,4 persen menjadi 12.267 ton.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengatakan, Gapkindo optimistis harga dan permintaan karet dunia tahun ini akan meningkat. Permintaan terutama akan datang dari Amerika Serikat dan China yang kondisi perekonomiannya membaik.
”Stok yang mereka miliki tentu saja tidak akan bertahan lama karena digunakan sebagai bahan baku industri. Dengan AETS, otomatis stok karet global akan berkurang sehingga harga karet akan meningkat,” katanya.
Moenardji berharap, pemerintah terus berinovasi mengembangkan industri bernilai tambah bagi karet di dalam negeri. Proyek-proyek infrastruktur perlu didorong agar benar-benar merealisasikan serapan karet di dalam negeri.
Penasihat Gapkindo Daud Husni Bastari mengemukakan, daya saing industri karet Indonesia perlu diperkuat karena masih tertinggal dari negara-negara produsen karet di ASEAN. Selama ini, dunia kurang memperhitungkan industri hilir karet Indonesia karena daya saing produk dan bahan bakunya rendah.
”Lobi-lobi perdagangan negara-negara produsen karet di ASEAN juga lebih unggul dari kita. Pada akhirnya, kita akan selalu menjadi pasar dari produk-produk industri hilir karet negara-negara lain,” katanya.
Konsorsium
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Aziz Pane menilai, seharusnya ITRC diperluas menjadi Konsorsium Karet ASEAN. Sebab, produksi karet di tiga negara anggota ITRC hanya 71 persen dari produksi karet dunia.
”Jadi, tidak bisa memengaruhi harga ketika tiga negara ini menahan produksinya, sementara Vietnam dan Laos melempar ke pasar dunia. Belum lagi kalau nanti Kamboja dan Myanmar,” kata Aziz.
Menurut Aziz, jika keputusan mengurangi ekspor karet alam dilakukan konsorsium karet ASEAN yang menguasai 85-90 persen pasar karet dunia, harga karet alam kemungkinan besar baru akan terpengaruh.
Di sisi lain, lanjut Aziz, hilirisasi industri karet di dalam negeri tetap harus dikembangkan. Persoalan hilirisasi industri karet tersebut sudah dibahas Dewan Karet Indonesia dengan sejumlah pihak. Karet alam terutama digunakan untuk ban dan ban vulkanisasi. ”Karet juga bisa dimanfaatkan untuk bantalan di dok pelabuhan, tetapi penggantiannya lama karena awet,” ujarnya. (HEN/CAS)