Janji (Aspal) Karet
Pada 1929, Belanda menjadi negara pertama di dunia yang membangun jalan aspal campuran karet. Amerika Serikat mengadopsi lima tahun setelahnya dengan meletakkan standar komposisi karet, yaitu 5-7,5 persen dari berat aspal yang digunakan. Waktu itu, campuran karet itu berfungsi sebagai pelapis kedap dan meningkatkan kualitas jalan aspal.
Pada era 1950-an, Indonesia pernah memiliki jalan aspal campuran karet di Bogor. Jalan itu hasil kerja sama pemerintah dengan Indonesisch Instituut vor Rubber Onderzoek Stichting (INIRO). Lembaga penelitian karet yang didirikan Belanda pada 1941 itu menjadi Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI) sejak 2015.
Di tengah anjloknya harga karet, upaya membangun jalan aspal campuran karet kembali dilakukan. Tahun lalu, pemerintah menguji coba di Parung, Bogor, Jawa Barat. Tahun ini pemerintah akan menerapkannya di Sumatera Selatan. Skala penerapan ditingkatkan dari semula sepanjang 1-2 kilometer menjadi 10 kilometer. Komposisi campuran tidak berubah, yaitu 5 persen karet dari total aspal yang digunakan.
Hasil penerapan itu menunjukkan, kualitas jalan aspal-karet mulai dari tingkat kelelehan, stabilitas, hingga kekuatan terhadap alur dan tekanan, 50 persen lebih baik daripada jalan aspal. Sementara itu, biaya produksinya meningkat 20-30 persen. Kendati biaya produksi meningkat, pemerintah dapat menghemat biaya pemeliharaan jalan hingga 40 persen.
Pada April 2015, pemerintah berkomitmen menggunakan karet alam dan produk turunannya dalam pembangunan infrastruktur nasional. Target serapannya 100.000 ton sehingga menambah total serapan karet nasional dari 600.000 ton menjadi 700.000 ton. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan dapat menyerap karet alam sebanyak 60.000-80.000 ton. Selain untuk campuran aspal, karet akan digunakan juga untuk bendung karet dan bantalan pintu irigasi. Kementerian Perhubungan akan menyerap 20.000 ton, terdiri dari 15.000 ton untuk sarana kenavigasian dan 5.000 ton untuk bantalan kereta api.
Setelah program itu berjalan lebih dari dua tahun, realisasi serapannya masih rendah, yaitu di bawah 30 persen. Padahal, di tengah kebijakan pembatasan ekspor karet oleh Dewan Tripartit Karet Internasional (ITRC), serapan karet dalam negeri sangat diperlukan. ITRC, yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, kembali menerapkan skema membatasi suplai karet alam ke pasar global melalui pengurangan ekspor atau Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). Ekspor karet alam Indonesia dikurangi sebanyak 95.190 ton, Malaysia 20.000 ton, dan Thailand 234.810 ton pada Januari-Maret 2018.
Upaya itu memang mampu meningkatkan harga karet dunia. Namun, dampaknya kepada petani masih belum signifikan. Keterbatasan serapan di pasar domestik itu membuat stok karet petani menumpuk sehingga dibeli dengan harga rendah. Jaring perlindungan petani karet juga belum tersedia. Sistem resi gudang (SRG) yang dirintis pemerintah sejak 2006 belum menyentuh komoditas karet. SRG karet belum terimplementasi di daerah-daerah sentra produksi karet karena karet yang dihasilkan petani di luar standar mutu SRG. Padahal, melalui SRG, petani bisa menunda jual karet saat harganya rendah. Ketika harga tinggi, mereka bisa menjualnya.
Akhir tahun lalu, pemerintah telah membuat skema peremajaan kebun karet. Skema itu menyangkut prosedur standar operasi, mekanisme dalam land clearing, keterlibatan pihak swasta, dan standardisasi pembiayaan. Pemerintah juga menyiapkan opsi mengatasi konsolidasi lahan dengan mengimplementasikan konsep Federal Land Consolidation and Rehabilitation Authority (FELCRA) dan Build-Operate-Transfer (BOT). Pemerintah meyakini konsep itu cocok diterapkan karena banyak lahan perkebunan yang pemiliknya tidak mampu mengelola lahan yang berakibat pada rendahnya pendapatan. Caranya adalah memberikan bantuan pengelolaan lahan milik masyarakat yang tidak atau kurang produktif. Sementara konsep BOT membuka kesempatan partisipasi swasta dalam membangun wilayah sekitar perkebunan karet.
Pemerintah juga merencanakan mengenakan pungutan atas ekspor karet untuk mendanai peremajaan perkebunan karet. Besaran pungutan yang diusulkan Rp 200 per kilogram (kg) untuk tahun pertama. Dana itu nantinya akan dijalankan Pengelola Dana Perkebunan. Pemerintah memang telah melakukan berbagai upaya. Namun, yang perlu diprioritaskan adalah merealisasikan perlindungan bagi petani, meningkatkan kualitas karet, dan menumbuhkan serapan karet di dalam negeri. (HENDRIYO WIDI)