JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah memberantas perikanan ilegal berdampak menghasilkan surplus ikan. Namun, kelimpahan ikan belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Bahkan, sebagian hasil tangkapan terbuang karena tidak terserap industri.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, di Jakarta, Selasa (13/2), mengatakan, hambatan konektivitas hulu-hilir perikanan banyak berlangsung di sejumlah sentra perikanan. Hal ini menyulitkan industri perikanan untuk bangkit.
Purnomo, pemilik kapal pukat cincin (purse seine) di Laut Arafura, mengemukakan, pihaknya harus menunggu hingga
dua minggu agar hasil tangkapan bisa terangkut. ”Hasil tangkapan bulan Februari baru bisa diangkut kapal Maret nanti,” katanya.
Sehari sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui, sistem logistik perikanan masih lemah, sedangkan sistem tol laut belum memadai. Arah kebijakan negara untuk memberantas kapal ikan asing dan penangkapan ikan ilegal menghasilkan peluang besar untuk membangkitkan industri perikanan dalam negeri. Namun, hal itu belum dimanfaatkan.
Hasil perikanan yang berlimpah di wilayah timur Indonesia dibayangi kesulitan mencari pasar. Dicontohkan, di Timika dan Merauke (Papua), ratusan ton ikan ditangkap setiap bulan. Minimnya akses pasar dan penyerapan ikan membuat sebagian hasil tangkapan dibuang di tengah laut. Sementara itu, industri pengolahan perikanan, seperti di Bitung, justru kekurangan bahan baku.
”Kalau sinergi (hulu-hilir) tidak segera dilakukan, surplus ikan di wilayah timur tidak akan membawa manfaat bagi pemangku kepentingan perikanan,” ujar Susi, di hadapan sejumlah pelaku usaha dalam forum bisnis perikanan, Senin. Dari data KKP, stok perikanan nasional meningkat dari 6,5 juta ton pada 2014 menjadi 12,5 juta ton pada 2017.
Peluang bisnis
Dua tahun terakhir, KKP rutin menggelar forum bisnis perikanan untuk menghidupkan peluang bisnis di antara pelaku usaha perikanan. Namun, ajang pertemuan bisnis yang diharapkan menjadi stimulus kegiatan perikanan itu masih jauh dari optimal.
Untuk mendorong peluang bisnis, diperlukan penguatan logistik perikanan. KKP meminta BUMN perikanan, yakni PT Perikanan Nusantara (Persero) dan Perum Perikanan Indonesia, menjadi penopang pasar dengan membawa kapal angkut untuk menyerap ikan.
Direktur Keuangan Perikanan Nusantara Ridwan Zachrie mengemukakan, upaya membangun logistik perikanan membutuhkan ketersediaan informasi riil berbasis daring. Dengan begitu, terdapat keterbukaan informasi terkait dengan data ikan di setiap wilayah produksi.
Saat ini, pihaknya tengah membangun sistem informasi berbasis daring dengan percontohan di Bitung, Ambon, dan Pangandaran. Jika berhasil, sistem itu akan dikembangkan ke seluruh sentra perikanan. Data berbasis daring juga diyakini akan memotong mata rantai logistik yang panjang. Pihaknya juga menawarkan kerja sama operasi dengan pemilik usaha perikanan tangkap untuk penangkapan ikan bersama.
Sementara itu, Direktur Usaha Angkutan Kapal Barang dan Tol Laut PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) Harry Boediarto mengemukakan, pihaknya mendapat informasi, hasil perikanan di Timika dan Merauke mencapai 520 ton per bulan. Ini merupakan potensi pengangkutan. Kapasitas 520 ton itu membutuhkan pengangkutan setidaknya 30 kontainer.
Selama ini, kapal-kapal Pelni tujuan Indonesia timur hanya bisa membawa muatan balik 20 persen daripada kapasitas. Adanya informasi hasil tangkapan dalam jumlah besar itu di wilayah timur Indonesia bisa mendorong angkutan balik untuk barang. (LKT)