JAKARTA, KOMPAS — Pabrik-pabrik surimi, atau daging ikan yang dihaluskan, sejak awal tahun 2018 masih berhenti beroperasi. Penghentian operasional pabrik surimi terjadi karena belum ada alternatif bahan baku untuk mengganti ikan yang selama ini ditangkap oleh kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang.
Selama ini, pabrik-pabrik surimi mengandalkan pasokan bahan baku dari hasil tangkapan nelayan dengan alat cantrang. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), hasil tangkapan nelayan cantrang di pantai utara Jawa, meliputi area Tegal, Pekalongan, Batang, Juwono, Rembang, dan Brondong, setiap tahun memasok bahan baku ke 16 pabrik surimi rata-rata sebanyak 340.625 ton.
”Semua pabrik surimi masih tutup, tanpa ada kejelasan kapan bisa mulai beroperasi lagi,” kata Budhi Wibowo, Ketua Umum AP5I, di Jakarta, Rabu (14/2).
Budhi mengemukakan, sejauh ini belum ada pabrik surimi yang beralih bahan baku. Sementara itu, diversifikasi usaha juga tidak mudah dilakukan karena butuh dana investasi. ”Tidak mudah untuk beralih bahan baku. Jenis ikannya berbeda dengan ikan yang biasa digunakan untuk proses surimi,” katanya.
Selama ini, total volume produksi surimi sebanyak 81.750 ton dengan nilai penjualan setara Rp 2,152 triliun per tahun. Jenis bahan baku untuk proses surimi antara lain ikan kurisi, swangi, kapasan, kuniran, cokelatan, dan bloso. Berkisar 80-90 persen produk surimi diekspor.
Direktur PT Indo Seafood Darwan mengemukakan, pabrik surimi yang dipimpinnya itu masih berhenti beroperasi. Hingga saat ini, pihaknya belum menjajaki bahan baku pengganti karena harganya jauh lebih mahal. Sementara itu, ikan hasil tangkapan kapal cantrang saat ini menurun drastis.
”Kapal (cantrang) yang berangkat cuma sedikit, jadi pasokannya hanya untuk pasar. Sementara bahan baku dari alat tangkap lain belum tersedia,” kata Darwan.
Direktur PT Southern Marine Products Agus Amin Thohari mengemukakan, seiring waktu, pihaknya berharap nelayan pantai utara Jawa dan nelayan kapal eks kapal cantrang tetap bisa menangkap jenis-jenis ikan untuk bahan baku surimi.
”Pemerintah wajib mengkaji alat apa yang ramah, yang bisa dimanfaatkan nelayan untuk beroperasi di pantura dengan menghasilkan bahan baku surimi,” ujarnya.
Industri perikanan
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menuturkan, Pasal 25 C Ayat 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan telah mengamanatkan pemerintah untuk membina dan memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional. Upaya itu bisa dilakukan dengan mengutamakan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri.
Halim mendesak pemerintah memastikan bahwa aktivitas produksi surimi tetap berjalan dengan membuka ruang pasokan bahan baku baru dari wilayah pengelolaan perikanan yang memungkinkan. Di samping itu, pemerintah juga perlu memastikan hak-hak ribuan pekerja pabrik surimi terlindungi.
Direktur PT Holi Mina Jaya Tanto Hermawan menuturkan, pabrik hingga kini masih berhenti beroperasi karena pasokan bahan baku minim. Harga ikan pun masih mahal karena pasokan sedikit.
Dalam forum bisnis perikanan 2018, awal pekan ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan, sudah saatnya pelaku usaha surimi melakukan diversifikasi produk atau mencari bahan baku alternatif yang tidak bersumber dari kapal cantrang. (LKT)