Kebijakan pemerintah dalam penentuan harga energi, seperti bahan bakar minyak dan tarif listrik, menarik diikuti dan disimak. Nyaris tak ada perubahan harga yang signifikan untuk kedua jenis energi tersebut. Padahal, harga energi primernya di pasar dunia terus naik.
Sejak 1 April 2016 hingga kini, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar bersubsidi tak berubah. Harga premium ditetapkan Rp 6.450 per liter dan solar Rp 5.150 per liter. Sebelum 1 April 2016, harga premium Rp 6.950 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.650 per liter. Padahal, harga minyak mentah terus naik. Sepanjang 2016, rata-rata harga minyak dunia berdasarkan data Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) adalah 40,68 dollar AS per barrel dan merangkak menjadi 51,64 dollar AS per barrel di 2017.
Mengacu pada laman Bloomberg sampai Rabu (14/2) sore, minyak mentah jenis WTI ada di level 58,82 dollar AS per barrel dan jenis Brent di 62,41 dollar AS per barrel. Kecenderungan naiknya harga minyak dunia berkorelasi dengan naiknya harga minyak Indonesia (ICP). Faktor ICP menjadi salah satu komponen penentu tarif listrik selain inflasi dan nilai tukar rupiah. Naiknya harga minyak mentah dipengaruhi sejumlah faktor, seperti kebijakan pemangkasan produksi minyak anggota OPEC, naiknya permintaan di sejumlah negara di tengah pengurangan pasokan, serta faktor geopolitik atau ketegangan di kawasan Timur Tengah. Namun, tren kenaikan harga minyak juga masih dibayangi ketidakpastian, apakah berlanjut atau tidak.
Pemerintah sudah memutuskan mengkaji harga BBM (premium dan solar bersubsidi) setiap tiga bulan. Artinya, harga kedua jenis bahan bakar tersebut bisa berubah menyesuaikan harga minyak dunia. Mulanya, salah satu tujuan kajian setiap tiga bulan adalah untuk membiasakan masyarakat bahwa harga energi bersifat dinamis (harga pasar). Cara ini juga dilakukan untuk menekan subsidi bahan bakar tatkala harga jual ke masyarakat jauh di bawah harga keekonomian.
Bagaimana mungkin harga jualnya tidak berubah, sedangkan harga kulakannya berubah? Begitu argumen Sudirman Said, Menteri ESDM ketika itu. Bukan berarti harga BBM, yang merupakan komoditas strategis menyangkut hajat hidup orang banyak, diserahkan ke mekanisme pasar karena itu bertentangan dengan konstitusi. Pengendalian harga (yang rasional) setiap tiga bulan adalah salah satu bentuk campur tangan pemerintah untuk tak menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar tersebut.
Setali tiga uang dengan harga BBM, demikian pula yang terjadi dengan tarif listrik nonsubsidi. Padahal, harga batubara yang merupakan sumber energi primer pembangkit listrik terus meroket. Dari sebelumnya ada di level 60 dollar AS per ton menjadi lebih dari 100 dollar AS per ton. Lagi-lagi, pemerintah menegaskan tak ada perubahan tarif setidaknya sampai akhir Maret 2018. Lalu, apa masalahnya kalau harga BBM dan tarif listrik tak dinaikkan sementara harga energi primernya melonjak? Rakyat atau konsumen tentu senang karena daya beli terjaga. Pemerintah pun, secara politis, mendapat manfaat dari aspek popularitas.
Dampak lainnya adalah tertekannya aliran kas PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha yang memasok dan mendistribusikan BBM jenis premium dan solar bersubsidi. Begitu pula dengan PLN yang menyediakan listrik bagi seluruh warga Indonesia. Pendapatan dua badan usaha itu berkurang lantaran ada biaya untuk menutup selisih harga keekonomian dengan harga jual ke konsumen. Ujung-ujungnya, kontribusi kepada negara (dividen) bakal terdampak.
Tulisan ini bukan mendesak pemerintah menaikkan harga energi sejalan dengan naiknya harga bahan baku. Pemberian subsidi oleh negara kepada rakyatnya juga merupakan amanat konstitusi. Hal itu juga masih ada sampai kini, seperti solar bersubsidi, elpiji 3 kilogram, atau tarif listrik untuk golongan pelanggan 450 VA dan sebagian 900 VA. Akan tetapi, kebijakan yang rasional lebih mendidik ketimbang kebijakan yang memanjakan. (ARIS PRASETYO)