Perlindungan Hak Belum Maksimal
JAKARTA, KOMPAS — Skor perlindungan hak kekayaan intelektual Indonesia membaik dari 9,64 pada 2016 menjadi 12,14 pada 2017. Perbaikan, antara lain, berupa ketersediaan sistem pelaporan pelanggaran hak cipta dalam jaringan dan kerangka koordinasi penegakan kasus.
Nilai ini berdasarkan hasil riset The US Chamber of Commerce Global Innovation Policy Center (GIPC).
Namun, pencapaian itu belum membuat peringkat indeks kekayaan intelektual Indonesia melonjak drastis. Pada 2017, Indonesia ada di peringkat ke-43 dari 50 negara yang diteliti The US Chamber of Commerce GIPC.
Sejak 2012, GIPC rutin menerbitkan laporan riset Indeks Kekayaan Intelektual. Sebanyak 50 negara yang diteliti itu dipilih berdasarkan pengelompokan pendapatan dari Bank Dunia. Laporan ini bertujuan memetakan kondisi iklim hak kekayaan intelektual di setiap negara. GIPC membuat delapan indikator sebagai bahan penghitungan skor perlindungan hak kekayaan intelektual. Contoh indikator tersebut adalah paten, relasi hak, dan kelemahan.
Pada 2017, skor perlindungan hak kekayaan intelektual Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga masuk kelompok negara berpendapatan menengah bawah, seperti Vietnam dan Nigeria. Skor Vietnam 13,19, sedangkan Nigeria 12,38.
Dalam laporan itu, GIPC menyebutkan, salah satu faktor penghambat Indonesia adalah isi UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang, antara lain, mengharuskan lokalisasi produk bagi pemegang hak paten asing. Faktor lain adalah pembajakan hak cipta yang masih tinggi.
”Tantangan terbesar adalah kesadaran wirausaha Indonesia mengenai arti penting hak kekayaan intelektual untuk menyokong perekonomian. Hal itu, misalnya, meliputi aset ekonomi, membuka akses permodalan, teknologi baru, dan penciptaan lapangan kerja,” ujar Vice President International Intellectual Property GIPC Patrick Gilbride dalam sambungan telepon internasional dari Jakarta, Rabu (14/2).
Dia mengapresiasi perbaikan skor perlindungan hak kekayaan intelektual yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, menurut dia, pemerintah perlu mengambil peran lebih besar. Ia mencontohkan, pengusaha perlu difasilitasi untuk mendaftarkan hak kekayaan intelektual, penegakan hukum atas kasus pembajakan, dan lebih terbuka terhadap dunia bisnis.
Patrick menambahkan, kultur setiap negara ikut memengaruhi perolehan skor perlindungan hak kekayaan intelektual. Pada 2017, skor tinggi diraih Amerika Serikat (37,98), Inggris (37,97), dan Swedia (37,03).
Pendaftaran
Secara terpisah, Deputi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema menyebutkan, Bekraf memfasilitasi pendaftaran hak kekayaan intelektual lebih dari 2.000 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) industri kreatif pada 2016-2017. Sebagian besar hak kekayaan intelektual itu berupa merek.
Di samping itu, Bekraf mengembangkan BIIMA, aplikasi berisi informasi seputar hak kekayaan intelektual.
Mengenai permasalahan syarat ketat paten, Ari menyebutkan, Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sudah mengeluarkan peraturan relaksasi.
Sementara itu, Dirjen Kekayaan Intelektual Freddy Haris mengungkapkan, masalah utama yang dihadapi adalah penegakan perlindungan hak kekayaan intelektual. Penegakan perlindungan hak ini membutuhkan kerja sama lintas instansi.
”Citra pendaftaran hak kekayaan intelektual masih buruk, misalnya pendaftaran sulit, penerbitan sertifikat butuh waktu lama, dan ongkosnya mahal. Inilah yang akan kami perbaiki. Kualitas petugas pelayanan pun dibenahi,” kata Freddy. (MED)