JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koordinator Perekonomian bersama Badan Informasi Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menyiapkan sistem pemantauan produksi padi dengan memanfaatkan citra satelit. Upaya ini diharapkan meningkatkan akurasi data produksi pangan, khususnya padi, sebagai dasar pengambilan keputusan.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud di Jakarta, Rabu (14/2), berharap, sistem yang dibangun Badan Informasi Geospasial (BIG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyajikan data yang lebih cepat dan akurat. Data itu menjadi acuan pemerintah dan Perum Bulog dalam mengambil keputusan, antara lain, di mana dan kapan Bulog membeli gabah petani.
Terkait data itu, Kementerian Pertanian sebenarnya telah memiliki sistem serupa. Data yang disajikan Kementan melalui situs Sig.pertanian.go.id juga memanfaatkan citra satelit, bekerja sama dengan lembaga terkait.
Menurut Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Suwandi, pihaknya memanfaatkan citra satelit Landsat-8 untuk menghitung luas tanam dan memprediksi luas panen. Data diperbarui dua pekan sekali sesuai periode putar satelit.
Khusus pada tanaman padi, sistem yang dibangun Kementan menyajikan data luas tanam, fase tanaman, dan luas panen. Usia tanaman dapat diketahui melalui warna yang disajikan berikut koordinat dan batas wilayahnya. Data lain yang disajikan dan dinilai membantu petani adalah perkiraan hujan dan status tinggi rendah muka air waduk setempat.
Lebih cepat
Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BIG Nurwadjedi menambahkan, sistem dibangun untuk meningkatkan akurasi dan mempercepat pendataan kondisi tanaman padi. Pada tahap awal, wilayah Sumatera Selatan serta Pulau Jawa dan Bali menjadi prioritas pemantauan. Data dari wilayah ini diharapkan sudah tersaji pada akhir Februari 2018 ini.
Berbeda dengan satelit yang telah dimanfaatkan Kementerian Pertanian, kata Nurwadjedi,
data yang dikirim satelit Lapan dalam program ini diperbarui dua hari sekali. Dengan demikian, intensitas pendataan lebih sering.
Data luas tanam dan usia tanaman akan disinkronisasi dengan data Badan Pusat Statistik serta Kementerian Pertanian. Dengan demikian, data yang dihasilkan lebih akurat, jadi acuan yang tepat bagi pengambilan keputusan pemerintah.
Data pangan menjadi polemik yang belum berakhir. Terkait produksi padi dan jagung, misalnya, data yang disampaikan Kementerian Pertanian dinilai
tidak mencerminkan situasi di lapangan. Produksi dua komoditas itu surplus dengan mengacu data itu, tetapi situasi harga
dan ketersediaan barang di pasar dan lapangan dinilai tidak sesuai.
Kisruh perberasan juga berpangkal pada data. Kementerian Pertanian menganggap produksi beras melebihi kebutuhan, tetapi harganya terus naik selama beberapa bulan berturut-turut, bahkan melonjak sejak awal Januari 2018. Pemerintah akhirnya memutuskan impor karena stok dalam negeri dinilai kurang.
Musdhalifah menambahkan, selain memperkuat pemantauan melalui sistem yang dibangun BIG-Lapan itu, pihaknya juga berharap mendapatkan data yang lebih akurat melalui perbaikan metodologi penghitungan produksi yang kini dikerjakan BPS dan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT).
Selama ini, angka produksi padi yang dihasilkan melalui metode pengamatan oleh mantri tani dan mantri statistik diragukan akurasinya oleh sejumlah pengusaha, khususnya pelaku usaha yang mendasarkan keputusan bisnisnya pada data tersebut. (MKN)