Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya, pada diskusi tentang pengembangan industri agro yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, di Jakarta, Kamis (15/2), menyebutkan, impor biji kakao melonjak 270 persen dari 61.000 ton pada 2016 menjadi 226.000 ton pada 2017. Dalam 10 tahun terakhir, pasokan dari dalam negeri terus berkurang.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu, antara lain, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Johny Darmawan, mantan Wakil Menteri Perdagangan sekaligus pengajar Institut Pertanian Bogor Bayu Krisnamurthi, Ketua Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan Aziz Pane, dan Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia Adhi S Lukman. Menurut Sindra, kapasitas terpasang industri pengolah kakao mencapai 600.000 ton setahun. Namun, pasokan kakao domestik hanya 250.000 ton. Sisanya diimpor dari Afrika. Padahal, bea masuk dan pajak impor mencapai 17 persen.
Sebagian bahan baku kakao diimpor dari Pantai Gading, Ghana, Kamerun, dan Ekuador. Biji kakao impor dipakai sebagai pencampur untuk mendapatkan aroma dan tekstur coklat tertentu. ”Kami impor bahan baku kena bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penghasilan yang totalnya 17,5 persen. Padahal, sekitar 80 persen produk industri kakao Indonesia diekspor,” ujarnya.
AIKI memperkirakan, krisis itu membuat sebagian pengusaha menutup pabriknya. Menurut Sindra, pada 2010 tercatat 30 pabrik pengolah kakao di seluruh Indonesia. Namun, jumlahnya kini tinggal 20 pabrik, tersebar antara lain di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi.
Selain menekan atau menghapus bea masuk bahan baku, para pelaku industri kakao berharap pemerintah menggenjot produksi dan produktivitas kebun serta memperhatikan kesejahteraan petani kakao. Fluktuasi harga di pasar dunia turut memengaruhi harga jual kakao petani dan belakangan anjlok karena panen melimpah di negara produsen. Akibatnya, motivasi petani turun, kebun, dan tanaman telantar.
Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian Risfaheri berpendapat, pemerintah memacu produksi dan produktivitas kebun kakao, seperti komoditas perkebunan utama lain, seperti teh, karet, dan kopi. Namun, hasilnya belum sesuai harapan.
Produksi fluktuatif
Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi kakao berfluktuasi, yakni dari 720.862 ton pada pada 2013, turun jadi 593.331 ton pada 2015, dan diperkirakan meningkat menjadi 688.345 ton pada 2017. Produktivitas diklaim naik tiga tahun terakhir, dari 775 kg per hektar pada 2015, lalu 785 kg per hektar pada 2016, dan 787 kg per hektar pada 2017.
Bayu berpendapat, pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada kesejahteraan petani kecil. Selain itu, kemudahan berusaha, iklim industri yang mendukung, penelitian dan pengembangan, serta problem terkait lahan juga perlu diperhatikan. Menurut Bayu, sulit bagi pemerintah menggenjot produksi banyak komoditas pangan dan perkebunan hanya dengan rasio lahan pertanian dan penduduk sebesar 0,2 hektar per kapita.
Hilirisasi industri berbasis agro di Indonesia juga belum optimal. Sinergi sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku dan sektor industri sebagai pengguna dan dukungan sektor jasa dibutuhkan untuk mendukung keberlanjutan industri agro.
Pengembangan industri menengah dibutuhkan untuk mengatasi tantangan produk antara di industri agro. Menurut Bayu, masalah berat yang juga dihadapi industri agro adalah dukungan sektor jasa. Integrasi pertanian, proses industri, dan jasa dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut.
Ketua Komite Tetap Agro, Alat Pertanian, dan Pangan Kadin Indonesia Gunadi Sindhuwinata mengatakan, dukungan logistik diperlukan agar Indonesia mampu menggarap potensi besar bunga tersebut. (MKN/CAS)