JAKARTA, KOMPAS — Pergantian jabatan Gubernur Bank Indonesia berlangsung di tengah berakhirnya era suku bunga rendah dunia. Rencana kenaikan suku bunga oleh sejumlah bank sentral negara maju, terutama Bank Sentral AS, akan menjadi tantangan bagi Gubernur BI terpilih. Di sisi lain, pemerintah tetap menginginkan penurunan suku bunga kredit hingga satu angka terus berlanjut.
Jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo akan berakhir pada Mei tahun ini. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja, Minggu (18/2), mengatakan, kenaikan suku bunga acuan di sejumlah negara maju akan berdampak ke Indonesia. Jika suku bunga acuan bank sentral di AS dan sejumlah negara maju naik sesuai proyeksi, sudah tidak ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate.
Pilihan BI adalah mempertahankan atau menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate. ”Kita harus bernalar logis. Kalau bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan secara drastis, sementara Indonesia tidak ikut, nilai tukar rupiah bisa jatuh,” kata Jahja.
Menurut dia, kalau BI tidak menaikkan suku bunga acuan, perlu ada intervensi terhadap rupiah. Namun, ada konsekuensi, yakni tergerusnya cadangan devisa. Agar cadangan devisa tetap kuat, impor perlu dikurangi dan arus masuk modal asing ditingkatkan.
Pekan lalu, Agus menyatakan, tren suku bunga rendah dunia akan berakhir. Kendati belum ada sinyal BI akan menaikkan suku bunga acuan, BI tengah mencermati tren itu (Kompas, Sabtu, 17/2).
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengemukakan, di tengah pengetatan kebijakan moneter bank sentral negara maju, seperti AS, Jepang, dan Eropa, stance kebijakan moneter BI cenderung akan netral. BI perlu mengimbanginya dengan kebijakan makroprudensial untuk meningkatkan peran intermediasi perbankan.
Sepanjang Januari 2016-Desember 2017, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin. Sementara suku bunga deposito baru turun 187 basis poin dan kredit 153 basis poin. Per Desember, rata-rata suku bunga kredit masih dua angka, yaitu 11,3 persen.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, sebagai negara yang membutuhkan modal dari luar negeri, suku bunga Indonesia ditentukan juga oleh suku bunga global dan indikator ekonomi makro, terutama inflasi dan neraca pembayaran, serta APBN. Sejak Desember 2015 hingga Desember 2017, BI dapat menurunkan suku bunga acuan delapan kali walaupun The Fed menaikkan suku bunganya lima kali.
Ini terjadi karena rasio ekonomi makro Indonesia dalam tiga tahun ini bisa dijaga baik. Artinya, jika The Fed tahun ini dan tahun depan masih menaikkan suku bunga acuan serta diikuti bank sentral negara maju dan tetangga, Indonesia masih bisa menjaga suku bunga rendah.
Penempatan dana
Deposito menjadi magnet dana jangka menengah-panjang karena belum tersedia instrumen lain yang cair, berisiko rendah, dan menawarkan tingkat pengembalian bagus. Pengamat dari perusahaan riset dan konsultan Bejana Investidata Globalindo, Yanuar Rizky, mengatakan, bunga deposito elastis terhadap suku bunga acuan BI. Suku bunga acuan BI elastis terhadap inflasi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan per 31 Desember 2017, perusahaan pengelola dana pensiun menginvestasikan Rp 70,80 triliun di deposito atau 28 persen dari dana kelolaan. Adapun perusahaan asuransi umum menempatkan dana di deposito Rp 24,63 triliun atau 35 persen dari total dana kelolaan. Perusahaan reasuransi menempatkan Rp 4,69 triliun atau 39 persen dari total dana kelolaan.
Perusahaan asuransi jiwa menempatkan Rp 47,39 triliun atau 10 persen dari dana kelolaan di deposito. Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan menempatkan Rp 2,13 triliun atau 29 persen dari dana kelolaan di deposito. (HEN/LAS)