JAKARTA, KOMPAS — Pengaturan uang virtual sebaiknya menekankan pada aspek perlindungan konsumen. Tujuannya adalah menciptakan skema pertanggungjawaban kepada pengguna apabila terjadi masalah.
CEO Bitcoin.co.id Oscar Darmawan pada diskusi ”Masa Depan Cryptocurrency di Indonesia” yang diadakan ID Institute, Senin (19/2), di Jakarta, mencontohkan, masalah yang mungkin muncul, misalnya, laman pemasaran bitcoin diretas.
Dari sisi transaksi, Oscar mengatakan, regulasi di Indonesia tidak memungkinkan uang virtual dipakai. Ini jelas tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Uang virtual atau uang kripto juga tidak bisa dianggap sebagai efek atau sekuritas. Hal itu karena belum ada landasan hukum yang mengakomodasi hal itu.
Namun, lanjut Oscar, produk uang kripto bisa digolongkan sebagai komoditas barang tidak berwujud yang dapat diperdagangkan. Landasan hukumnya dapat mengacu ke UU No 10/2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan UU No 7/2014 tentang Perdagangan.
”Tentunya masih akan butuh peraturan pelaksana, misalnya setingkat menteri,” ujarnya.
Oscar berpandangan, uang virtual lebih baik dipandang sebagai aset digital. Menurut dia, kapitalisasi pasar aset digital itu sekarang sudah menyentuh sekitar 520 miliar dollar AS. Pergerakan mata uang virtual, seperti bitcoin, juga cenderung lebih stabil dibandingkan dengan empat tahun lalu.
Co-Founder Blockchain Zoo Jean-Daniel Gauthier berpendapat senada. Regulasi dibutuhkan terutama untuk mendukung keamanan penggunaan uang virtual. Selain itu, keberadaan regulasi juga bisa mengakomodasi keadilan hukum pada saat terjadi konflik.
”Seandainya terjadi perselisihan kontrak dan tidak ada regulasi yang mengharuskan adanya tanda tangan digital untuk pemakaian uang virtual,” kata Gauthier.
Azwin Tanzil, pendiri Bit Mastery (komunitas seputar edukasi uang virtual), mengemukakan, tren uang virtual berkembang secara global. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak tergesa-gesa menolak keberadaan uang virtual.
Daripada menolak, pemerintah bisa mulai mengatur dengan pendekatan perlindungan konsumen. ”Uang virtual, seperti bitcoin, menyimpan potensi nilai cukup besar. Pengaturan diperlukan agar Indonesia tidak ketinggalan dari segi ekonomi,” kata Azwin.
Pada saat bersamaan, peneliti ID Institute Dwi Wahyudi mengatakan, pihaknya sempat melakukan survei mengenai uang virtual pada 100 orang di 10 provinsi. Sebanyak 36 persen dari total responden mengakses internet selama 6-12 jam per hari. Sebanyak 25 persen dari total responden mengakses 3-6 jam per hari.
Sejumlah 57 persen dari total responden hanya mengetahui secara sepintas mata uang virtual. Sebesar 19 persen dari total responden mengaku sudah memahami betul uang virtual. Responden itu mayoritas bertempat tinggal di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Latar belakang usia mereka berkisar antara 18 - 29 tahun.
”Edukasi penting diberikan kepada masyarakat. Tujuannya agar masyarakat tidak hanya mengenal ’sisi manis’ dari uang virtual,” ujar Dwi. (MED)