JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menargetkan peremajaan 185.000 hektar kebun kelapa sawit milik rakyat tahun ini. Luas lahan ini adalah sebagian dari 2,7 juta hektar kebun rakyat yang dinilai kurang produktif, antara lain karena tanaman telah berusia lebih dari 25 tahun, berasal dari sumber benih yang tak jelas, dan rusak.
Dengan asumsi usia produktif 25 tah un dan total kebun yang mendesak diremajakan 2,4 juta hektar, idealnya peremajaan meliputi lahan 100.000 hektar per tahun. Namun, dua tahun terakhir realisasinya sangat rendah, yakni 200 hektar pada 2016 dan 4.446 hektar pada 2017. Umumnya petani menghadapi kendala pendanaan dan skema kredit yang belum pas dengan siklus usaha perkebunan.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Bambang, setelah membuka seminar tentang peningkatan produktivitas kelapa sawit Indonesia yang digelar Media Perkebunan di Jakarta, Rabu (21/2), menyatakan, sempat ada kekhawatiran pemanfaatan dana pungutan perkebunan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Akibatnya, operasional peremajaan tahun lalu molor hingga September 2017. Realisasi penyaluran bantuan dana diperkirakan baru 3.000 hektar dari target 20.780 hektar.
Selain payung hukum, realisasi peremajaan terkendala persyaratan teknis di lapangan, khususnya status lahan yang sebagian merupakan kawasan hutan. Akan tetapi, tambah Bambang, peremajaan berjalan lebih cepat sejak Peraturan Menteri Keuangan tentang teknis penyaluran dana perkebunan, terbit. Sesuai ketentuan, setiap petani akan mendapat bantuan Rp 25 juta per hektar dari total kebutuhan peremajaan Rp 45 juta-Rp 60 juta per hektar.
Dengan target 185.000 hektar dan bantuan Rp 25 juta per hektar, kebutuhan dana untuk peremajaan mencapai Rp 4,6 triliun tahun ini. Menurut Bambang, seluruh kebutuhan peremajaan kelapa sawit akan dibiayai BPDPKS yang tahun ini memproyeksikan hasil pungutan mencapai Rp 11 triliun.
”Seluruhnya memakai dana BPDPKS, tidak ada dari anggaran negara (APBN). Saya kira cukup dan BPDPKS siap,” ujarnya.
BPDPKS mengelola dana pungutan untuk ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya dengan besaran bervariasi. Menurut Undang-Undang 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dana pungutan yang terkumpul dapat digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, peremajaan, sarana dan prasarana, serta promosi.
Produktivitas
Produktivitas kebun sawit rakyat selama ini relatif rendah, yakni 2-3 ton CPO per hektar. Padahal, potensinya 8-10 ton CPO per hektar. Kebun sawit rakyat juga diperkirakan menghasilkan tandan buah segar (TBS) kurang dari 10 ton per hektar per tahun, kendati potensinya bisa mencapai 25-30 ton TBS per hektar per tahun.
Peremajaan tanaman berpotensi meningkatkan produktivitas sekaligus pendapatan petani sawit, dengan peningkatan triliunan rupiah.
Menurut Kepala Divisi Pemungutan Biaya dan Iuran CPO BPDPKS Wawan Hardiwinata, peremajaan diharapkan memacu produktivitas kebun rakyat, dari 2-3 ton CPO per hektar menjadi 4-7 ton CPO per hektar atau setara dengan kebun swasta besar. Maka, peremajaan 185.000 hektar kebun berpotensi menghasilkan 3,4 miliar-5,2 miliar dollar AS.
Berdasarkan identifikasi, kata Wawan, kebun petani plasma (menginduk ke perusahaan) yang seluas 900.000 hektar umumnya lebih baik. Sebab, luas pengelolaan relatif seragam, berada di hamparan yang sama, mengantongi sertifikat hak milik, serta berpotensi diusulkan untuk mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil. (MKN)