Tenaga Surya Nusa Tenggara Timur Berpotensi Dikembangkan
Oleh
·3 menit baca
Studi kelayakan dilaksanakan oleh Global Green Growth International (GGGI) dengan dukungan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Studi dilakukan pada delapan lokasi di lima pulau, yaitu Sumba, Flores, Alor, Rote, dan Timor. Secara keseluruhan, hasil studi menunjukkan bahwa potensi tenaga surya di NTT layak dikembangkan baik dari sisi pendanaan maupun efisiensi pemakaian solar.
”Ini adalah peluang besar di tengah rasio elektrifikasi di NTT yang masih rendah, yaitu sekitar 60 persen. Kami sangat terbuka bagi investor dan akan mendukung sepenuhnya,” kata Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Provinsi NTT Alexander Sena dalam pemaparan hasil studi, Rabu (21/2), di Jakarta.
Dalam bauran energi primer pembangkit listrik di NTT, 86 persen menggunakan solar sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Tarif listrik di provinsi tersebut rata-rata 17,5 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Hasil studi menunjukkan, pemakaian tenaga surya untuk listrik di NTT akan mampu menekan tarif listrik menjadi 11,2-14,9 sen dollar AS per kWh.
Marcel Silvius, GGGI Indonesia Representative, mengatakan, di samping besarnya potensi tenaga surya di NTT, pengembangan tenaga surya untuk listrik di provinsi tersebut juga menghadapi kendala kondisi geografis berupa kepulauan. Hal itu berdampak pada membengkaknya ongkos distribusi.
”Namun, menggunakan tenaga surya untuk listrik, selain lebih ramah lingkungan, juga dapat mengurangi konsumsi solar antara 5 juta dan 7 juta liter per tahun,” kata Marcel.
Dua perusahaan telah membentuk usaha konsorsium untuk pengembangan potensi tenaga surya tersebut. Kedua perusahaan itu adalah Engie Asia Pacific Co Ltd (Engie) dan PT Arya Watala Capital. Kendati ada potensi lain di NTT, seperti tenaga panas bumi dan tenaga bayu, potensi tenaga surya lebih mudah dikembangkan.
”Setidaknya, perlu dana 15 juta-20 juta dollar AS untuk pembiayaan pengembangan potensi tenaga surya tersebut,” kata CEO PT Arya Watala Capital Aria Witoelar.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Engie untuk Indonesia Johan de Saeger mengatakan, dukungan pemerintah amat dibutuhkan untuk mengembangkan potensi tenaga surya di NTT. Dukungan yang diharapkan tersebut berupa insentif fiskal dan pinjaman lunak. Kedua jenis insentif itu dapat menaikkan tingkat pengembalian investasi yang dikeluarkan investor.
Mengurang emisi
Berdasarkan hasil studi, pengembangan tenaga surya untuk listrik di NTT dapat mengurangi emisi gas CO2 sampai 31.000 ton dalam setahun. Hal itu sejalan dengan penghematan konsumsi solar untuk PLTD yang dioperasikan di NTT sebanyak 5 juta-7 juta liter per tahun.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas CO2 sebanyak 36 juta ton pada 2018. Adapun realisasi pengurangan emisi pada 2017 sebanyak 33,9 juta ton.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 ditargetkan sedikitnya 23 persen. Hingga saat ini, kontribusi energi terbarukan masih kurang dari 10 persen. Sejumlah pihak meragukan target 23 persen tersebut bisa tercapai. (APO)