Tak bisa dimungkiri, tren sumber energi saat ini dan di masa depan adalah energi bersih, hijau, dan ramah lingkungan. Kampanye atau ajakan meninggalkan energi fosil kian gencar. Bahkan, ada kampanye yang mengajak menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara. Akan tetapi, mungkinkah itu dilakukan?
Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Kesepakatan Paris di Konferensi Para Pihak (COP 21) untuk Perubahan Iklim pada akhir 2015. Tujuan kesepakatan ini mulia, menyelamatkan bumi dari polusi dan pemanasan global.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batubara dipandang sebagai salah satu penyumbang gas karbon yang mengotori udara dan menaikkan suhu bumi. Berbagai kampanye dan sosialisasi pun cukup masif mengajak penghentian pembangunan PLTU. Semuanya didorong memanfaatkan energi bersih dan terbarukan. Berbagai sumber energi bersih dan terbarukan ini tersedia melimpah di Indonesia.
Namun, patut disadari bahwa kita tidak bisa serta merta meninggalkan batubara untuk tak lagi menjadi salah satu sumber energi primer. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, porsi batubara masih tersisa sedikitnya 30 persen pada 2025 dan 25 persen pada 2050. Artinya, mengacu pada aturan tersebut, sampai lebih dari 30 tahun ke depan, batubara akan tetap dipakai di Indonesia.
Pembakaran batubara memang menghasilkan polusi dan panas kendati sudah ada teknologi untuk meminimalkan dampak buruk itu. Namun, peranannya masih terbilang penting bagi Indonesia, baik dalam hal pemenuhan energi listrik, kontribusi terhadap penerimaan negara, maupun aktivitas ekonomi dalam skala lokal. Apalagi, cadangan batubara di Indonesia tersisa lebih dari 28 miliar ton atau diperkirakan cukup untuk kebutuhan sampai 70 tahun mendatang.
Bauran energi
Berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), tahun lalu, dari semua jenis pembangkit listrik yang ada, 55,6 persen berasal dari PLTU. Selebihnya adalah pembangkit listrik berbahan bakar gas 25,8 persen, tenaga diesel 6,6 persen, dan sisanya pembangkit dari energi terbarukan sekitar 11 persen. Pada 2026, ditargetkan kontribusi PLTU turun menjadi 50,4 persen dan dari energi terbarukan naik menjadi 22,4 persen.
Peranan vital batubara dalam bauran energi primer pembangkit listrik jelas tak bisa dimungkiri. Dengan kata lain, batubara menjadi jantung kelistrikan nasional. Apabila pasokan batubara terhenti, itu sama saja mematikan lebih dari separuh pembangkit listrik di Indonesia. Sementara di sisi lain, sumber energi terbarukan untuk pembangkit listrik di Indonesia belum cukup andal.
Akan tetapi, komitmen menuju energi bersih dan ramah lingkungan tak boleh diingkari. Apalagi, Indonesia sebagai negara kepulauan rentan terhadap perubahan iklim. Secara umum, kenaikan suhu rata-rata di Indonesia diperkirakan berkisar 0,5-3,92 derajat celsius pada 2011 dibandingkan dengan situasi sepanjang 1981 hingga 2010. Bahkan, pergeseran bulan basah dan bulan kering sudah terjadi.
Pilihannya adalah energi terbarukan wajib terus dikembangkan. Sesuai dengan sifatnya yang terbarukan, tentu lebih terjamin keandalan pasokan energi ini dibandingkan batubara yang merupakan energi fosil dan dipastikan bakal habis pada suatu saat nanti. Di satu pihak, mengurangi pemakaian batubara secara ekstrem tak cukup bijak karena pergerakan pemanfaatan energi terbarukan juga tak bisa dibilang pesat.
Indonesia belum keluar dari masalah rasio elektrifikasi. Sampai Desember 2017, rasio elektrifikasi Indonesia sebesar 94,91 persen dan masih menyisakan pekerjaan besar untuk mengalirkan listrik ke lebih dari 2.000 desa. Mengurangi batubara secara perlahan sembari mendorong energi terbarukan lebih cepat adalah pilihan moderat. (ARIS PRASETYO)