Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan, Jumat (23/2), menjelaskan, pelaku usaha dan pemerintah telah memasukkan gugatan ke pengadilan perdagangan internasional Amerika Serikat (USITC) pada 4 Februari 2018. Pemerintah juga akan mengajukan gugatan ke badan penyelesaian sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
”Gugatan ke WTO menjadi ranah pemerintah, tetapi pengusaha mendukungnya, kami menyiapkan data, informasi, dan lainnya. Sementara yang ke pengadilan di AS, gugatan telah diajukan,” ujar Paulus.
US Department of Commerce (USDOC) pada 21 Februari 2018 memublikasikan penentuan final atas penyelidikan antidumping untuk produk biodiesel asal Indonesia dan Argentina. Pada tahap final, besaran dumping dari produsen biodiesel Indonesia ditentukan USDOC sebesar 92,52 persen dan 276,65 persen.
Implementasi ketentuan USDOC ini bergantung pada keputusan USITC yang dijadwalkan keluar pada 6 April 2018.
Sebelum AS, Uni Eropa (UE) juga melakukan penyelidikan antisubsidi dan antidumping terhadap produk biodiesel Indonesia. Pemerintah Indonesia memenangi sengketa ini di WTO. Produsen biodiesel Indonesia secara individual juga memenangi gugatan mereka terkait tuduhan itu di pengadilan UE.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai kebijakan UE amat merugikan Indonesia. Pengenaan bea masuk antidumping membuat ekspor biodiesel Indonesia ke UE anjlok, dari 635 juta dollar AS tahun 2013 menjadi 9 juta dollar AS tahun 2016.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia terus berjuang melalui upaya diplomasi untuk mengatasi kampanye negatif dan masalah bea masuk antidumping yang kini dihadapi industri kelapa sawit.
”Biodiesel saat ini tidak masuk ke Eropa dan AS. Kampanye ini kan upaya memproteksi biodiesel di tempat mereka. Tentu kita harus terus berjuang karena di Eropa sebetulnya kita sudah menang,” kata Airlangga.
Ia menuturkan, praktik yang baik di bisnis kelapa sawit juga terus didorong, baik yang terkait praktik di perkebunan maupun proses produksi, agar berkelanjutan. ”Dari sisi teknologi riset pun saat ini terus dijalankan untuk menunjang hal itu,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (angka sementara), ekspor minyak sawit Indonesia tahun 2017 senilai 20,34 miliar dollar AS, meningkat 27,4 persen dibandingkan 2016 yang 15,966 miliar dollar AS.
Kalah bersaing
Direktur Perdagangan, Komunitas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri Tri Purnajaya mengatakan, Indonesia melakukan sejumlah upaya untuk menekan hambatan pemasaran kelapa sawit. Selain melalui perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Uni Eropa, Kementerian Luar Negeri juga berupaya lain. Di Eropa, dibuat kampanye yang menjelaskan keunggulan dan daya saing minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati produksi Eropa.
”Produk mereka memang kalah saing dibandingkan (minyak) sawit Indonesia,” ujar Tri.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, pemerintah menunggu keputusan Komisi Eropa terkait proposal parlemen Eropa mengenai energi terbarukan yang melarang penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel. Pelarangan dengan alasan deforestasi tersebut dinilai tidak relevan.
Oke menilai, kampanye negatif terhadap penggunaan minyak kelapa sawit di Eropa lebih merupakan persaingan dagang. Jika Komisi Eropa menyetujui usulan parlemen Eropa terkait pelarangan minyak sawit dalam ketentuan energi terbarukan, Kemendag akan bertindak.
”Bisa kita bawa ke WTO,” katanya. Secara politis, tindakan retaliasi juga dapat dipertimbangkan. Meskipun tak menjadi agenda bahasan utama dalam perundingan CEPA Indonesia-Uni Eropa, minyak sawit tetap jadi perhatian Indonesia. Pemerintah menekankan pentingnya perlakuan lebih adil oleh Uni Eropa. (MKN/CAS/FER/RAZ/RWN)