PADANG, KOMPAS — Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih tumbuh landai pada awal tahun ini. Tanpa terobosan kebijakan, situasi ini bisa berlanjut hingga akhir tahun sehingga pemulihan ekonomi akan berjalan lambat.
”Pemulihan pertumbuhan ekonomi tahun ini saya perkirakan masih akan berjalan lambat. Salah satu faktor kuncinya adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih cenderung datar,” kata Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih dalam diskusi dengan wartawan yang digelar Bank Indonesia (BI) di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (24/2).
Diskusi tentang kondisi perekonomian terkini dan respons kebijakan BI itu juga dihadiri Deputi Gubernur BI Sugeng dan Kepala Perwakilan BI Sumatera Barat Endi Dwi Tjahjono.
Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,4 persen, sedangkan BI memperkirakan 5,1-5,5 persen. Adapun Samuel Aset Manajemen memperkirakan 5,08-5,15 persen.
Belum normal
Produk domestik bruto (PDB) dibentuk konsumsi rumah tangga, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor dikurangi impor. Konsumsi merupakan basis pertumbuhan ekonomi karena menyumbang 56 persen dari PDB. Akseleratornya adalah investasi dan ekspor, yang masing-masing menyumbang 32 persen dan 20 persen terhadap PDB.
Konsumsi rumah tangga, menurut Lana, cenderung tumbuh landai. Penyebabnya, daya beli masyarakat pendapatan rendah belum normal. Hal ini tecermin, misalnya, dari upah minimum provinsi (UMP).
Pada September 2017, kenaikan UMP nominal 8,9 persen di atas tingkat inflasi yang sebesar 3,72 persen membuat UMP riil masih positif, yakni 5,16 persen. Meskipun sudah melewati titik terendah pada 2016, hal itu belum mampu mengompensasi penurunan upah riil pada 2014-2016 sebesar 10,14 persen.
”Ada pula tren peningkatan pekerja informal. Ini mengindikasikan ketidakpastian pendapatan,” ujar Lana.
Sugeng mengatakan, risiko domestik diperkirakan berasal dari konsolidasi korporasi yang masih berlanjut dan intermediasi perbankan yang belum kuat. Terkait hal ini, BI memperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini 10-12 persen.
Adapun risiko eksternal masih berasal dari ketidakpastian di pasar keuangan global akibat rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang bisa lebih tinggi dari perkiraan. Risiko lain berasal dari peningkatan harga minyak dunia.
BI, lanjut Sugeng, akan menempuh kebijakan moneter yang terukur dan sejalan dengan upaya menjaga inflasi sesuai target, yakni 2,5-4,5 persen. (LAS)