Pemerintah menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 12 juta orang pada 2016, yang meningkat menjadi 15 juta orang pada 2017. Tahun ini, target meningkat menjadi 17 juta orang dan 20 juta orang pada 2019. Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta pihak-pihak lain sudah melakukan banyak hal sehingga meyakini target itu tercapai.
Target 2016 tercapai. Namun, target 2017 meleset, yakni 14,04 juta kunjungan karena erupsi Gunung Agung di Bali yang memengaruhi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Turis China yang diharapkan datang membatalkan perjalanan atau mengalihkan liburan ke negara lain.
Target tahun ini cukup ambisius, tetapi bukan tidak mungkin dicapai sepanjang ada berbagai upaya luar biasa untuk mencapainya. Banyak hal yang sudah dilakukan, di antaranya pemasaran secara digital, penyediaan infrastruktur, dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata.
Akan tetapi, langkah-langkah lain tetap perlu dilakukan untuk menghasilkan lompatan kunjungan wisman yang signifikan. Lompatan itu juga mesti tahan terhadap gangguan yang mungkin timbul dalam proses menjaring wisatawan.
Ambil contoh Jepang yang berhasil melipatgandakan jumlah kunjungan wisman hanya dalam dua tahun. Sementara target menggandakan jumlah kunjungan wisman baru kita raih dalam lima tahun. Jika ditilik lebih jauh, ada banyak langkah yang dilakukan ”negara matahari terbit” itu untuk meningkatkan kunjungan wisman. Jepang, misalnya, mempermudah calon wisatawan untuk mendapatkan visa. Bahkan, pemegang paspor elektronik bisa mendapatkan bebas visa kunjungan.
Selain itu, Jepang memperbanyak penerbangan berbiaya murah dari sejumlah negara. Langkah ini sekaligus menepis kesan Jepang sebagai negara mahal yang membuat wisman berpikir ulang untuk melancong ke sana. Jepang juga membuat paket-paket wisata murah dengan harga terjangkau. Dengan harga tiket dan paket wisata murah, wisatawan pun tertarik datang ke Jepang.
Sebenarnya Indonesia juga bisa melakukan itu. Apalagi, Indonesia masuk dalam lima besar negara dengan pariwisata berbiaya murah. Artinya, dari sisi biaya, Indonesia memiliki daya saing.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mendorong maskapai berbiaya murah untuk membuka rute-rute internasional yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara lain. Tentu pilih rute yang menjanjikan, artinya berpotensi mendatangkan devisa bagi Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga perlu membangun bandara atau terminal untuk maskapai berbiaya murah. Malaysia, Singapura, dan Thailand memiliki terminal khusus untuk penerbangan berbiaya murah. Terminal ini akan berdampak pada harga tiket penerbangan sehingga membuat biaya perjalanan semakin murah. Sebab, konsumen hanya membayar fasilitas yang digunakan. Terminal, misalnya, tanpa fasilitas sofa empuk karena yang tersedia adalah tempat duduk sesuai fungsi. Kendati tanpa fasilitas mewah, fungsi kebandarudaraan berjalan baik dan sesuai standar penerbangan.
Dunia pariwisata sangat sensitif terhadap harga. Jika harga terkesan mahal, wisatawan akan mencari tempat lain yang dinilai murah. Ada wisatawan yang tidak rela jika harus membayar ongkos transportasi yang mahal. Mereka lebih rela membayar makanan, atraksi, hiburan, dan hotel yang mahal.
Wisatawan dari generasi milenial yang mulai tumbuh saat ini juga akan memilih biaya transportasi murah. Mereka rela jadi turis beransel, tetapi bisa melancong ke banyak tempat.
Pemerintah gencar membangun bandara. Sudah saatnya mempertimbangkan juga untuk membangun terminal berbiaya murah. Dengan cara ini, daya saing Indonesia akan semakin tinggi. Daya tarik terhadap wisman juga makin besar. Murah tak berarti murahan. (M CLARA WRESTI)