JAKARTA, KOMPAS — Para petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia mengkhawatirkan dampak kebijakan antidumping dan antisubsidi Amerika Serikat dan Uni Eropa bagi usaha tani. Mereka berharap pemerintah melawan segenap tuduhan yang dinilai sebagai kepentingan bisnis sepihak tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, Minggu (25/2), berpendapat, seperti isu perusakan hutan dan lingkungan, kebijakan antidumping dan antisubsidi lekat dengan kepentingan ekonomi demi menghambat ekspor minyak
sawit mentah (CPO) dan biodiesel Indonesia. Oleh karena itu, Apkasindo mendukung Pemerintah Indonesia melawan tuduhan itu.
Menurut Asmar, meski ekspor ke Uni Eropa hanya sekitar 20 persen, penurunan volume ekspor CPO ataupun biodiesel dikhawatirkan berdampak terhadap petani, khususnya pada harga jual komoditas. Situasi itu akan makin menyulitkan petani sawit rakyat yang masih berjuang memacu produktivitas kebun melalui peremajaan tanaman.
Luas kebun sawit rakyat, ujarnya, mencapai 4,8 juta hektar atau 43 persen dari total luas kebun kelapa sawit nasional. Dari jumlah itu, 2,4 juta hektar sudah tidak produktif lagi. Hal itu umumnya karena usia tanaman yang telah lebih dari 25 tahun serta pola budidaya yang kurang intensif.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang, pekan lalu, mengungkapkan keyakinan bahwa segenap isu yang diembuskan terkait sawit Indonesia, mulai dari isu deforestasi, kebakaran hutan, sampai pekerja anak, sangat kental dengan soal persaingan komoditas. Padahal, kelapa sawit terbukti menjadi sumber energi nabati paling produktif dibandingkan komoditas lain.
Bambang menilai, tata kelola perkebunan kelapa sawit memang perlu diperbaiki. Namun, isu yang diembuskan mengabaikan sejumlah capaian perbaikan yang telah dan sedang ditempuh pemerintah, petani, dan pelaku usaha sawit Indonesia.
Terhenti
Biodiesel asal Indonesia dikhawatirkan menjadi tidak kompetitif akibat penerapan bea masuk antisubsidi (BMAS) ke Amerika Serikat. Kementerian Perdagangan dalam keterangan resmi menyebutkan, dampak negatif penerapan BMAS akan lebih terasa jika bea masuk antidumping (BMAD) dikenakan lagi atas ekspor biodiesel Indonesia. Dikhawatirkan pula terjadi efek domino karena tindakan AS bisa ditiru oleh negara tujuan ekspor lain, seperti Kanada.
Sebelumnya, menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, para produsen telah mengajukan gugatan ke pengadilan perdagangan internasional Amerika Serikat (USITC) pada 4 Februari 2018. Sambil menunggu hasil atas upaya itu, Pemerintah Indonesia dan Aprobi menyiapkan langkah untuk memperjuangkan hak-hak produsen asal Indonesia, termasuk banding melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Geneva, Swiss.
Mengutip keterangan resmi Kementerian Perdagangan RI pada 21 Februari 2018, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USDOC) memublikasikan penentuan final atas penyelidikan antidumping bagi produk biodiesel Indonesia dan Argentina. Pada tahap final, besaran dumping ditetapkan 92,52 persen dan 276,65 persen.
Namun, implementasi ketentuan USDOC ini bergantung pada keputusan USITC pada 6 April 2018. Terkait hal itu, pemerintah bersama produsen sawit terus berupaya melawan. (MKN)