JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha menilai upaya mendorong investasi di subsektor perikanan budidaya masih terganjal sejumlah hambatan. Hambatan ini meliputi soal sumber daya manusia atau SDM, pembiayaan, lahan, dan regulasi yang memberatkan.
Ketua Harian Shrimp Club Indonesia Hardi Pitoyo di Jakarta, Senin (26/2), mencontohkan pada industri udang nasional, semakin banyak pelaku usaha masuk ke sektor unggulan tersebut, potensi gangguan penyakit udang juga bermunculan.
Penyakit udang kini menjadi masalah utama produksi udang. Penyakit yang berkembang antara lain munculnya penyakit bintik putih pada tambak-tambak di pantai utara Jawa.
"Investasi yang sangat dibutuhkan adalah sumber daya manusia. Pelaku budidaya udang perlu diperkuat untuk memahami lapangan dan bersinergi dengan petambak lain menjaga ekosistem tambak guna menekan potensi penyakit," ujarnya.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang per Oktober 2017 555.138 ton, turun dibandingkan 2016, yakni 698.138 ton. Penurunan produksi itu diduga karena penyakit udang di beberapa sentra produksi.
Pitoyo menambahkan, tambak-tambak udang yang bermunculan tahun lalu rata-rata berskala kecil dan belum optimal berproduksi. Selain penyakit, hambatan pengembangan usaha juga berasal dari kekurangan benih (benur) udang berkualitas dan tahan penyakit. Pembelian benur, misalnya, memakan waktu sebulan karena stok terbatas.
Ia menilai upaya pemerintah mendorong intensifikasi dan ekstensifikasi tambak udang tidak akan efektif jika prasarana dasar, seperti ketersediaan benur berkualitas, belum memadai.
Selain itu, investasi tambak udang membutuhkan kemudahan lahan dan sarana produksi. Selama ini, sebagian besar pembudidaya kesulitan mengakses permodalan sehingga investasi berlangsung dengan modal seadanya. Hasil pun tak maksimal.
"Untuk menggalakkan investasi budidaya udang, dibutuhkan pendampingan SDM, dukungan akses pembiayaan, sarana-prasarana memadai, dan regulasi dimudahkan," kata Pitoyo.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Akuakultur Indonesia Agung Sudaryono mengemukakan, dibutuhkan regulasi yang kondusif dan pro usaha akuakultur untuk mendorong investasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto menyatakan, karakteristik usaha budidaya di Indonesia hampir 80 persen merupakan skala kecil menengah sehingga pemberdayaan masyarakat sangat dibutuhkan. Pemerintah akan menggandeng pihak BUMN dan swasta turut andil mengembangkan usaha perikanan budidaya melalui investasi ataupun kemitraan.
Di bidang permodalan, tahun 2017 pemerintah membentuk Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan-Badan Layanan Umum (LPMUKP- BLU) KKP untuk meningkatkan permodalan dan akses pembiayaan pelaku usaha. Namun, penyaluran pembiayaan belum optimal dan belum banyak diketahui pelaku usaha.
Menurut Direktur LPMUKP- BLU KKP Syarif Syahrial, BLU tersebut saat ini fokus dalam pembiayaan usaha mikro perikanan. Pada tahun 2018, LPMUKP-BLU menargetkan alokasi pinjaman usaha perikanan dengan dana bergulir Rp 975 miliar. (LKT)